MAKALAH
MUHAMMAD
IBNU ABDUL WAHAB “SEJARAH DAN PEMIKIRANNYA”
BAB I
PENDAHULUAN
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M) (bahasa Arab:محمد بن
عبد الوهاب التميمى) adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan
keagamaan yang pernah menjabat sebagai menteri penerangan Kerajaan Arab Saudi.
Muhammad bin Abdul Wahhab, yang
memiliki nama lengkap Syaikh al-Islam al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab bin
Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin
al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi[1]
adalah seorang ulama berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan
Islam. Para pendukung pergerakan ini sering disebut Wahabbi, namun
mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau
Muwahhidun, yang berarti "satu Tuhan", mereka mendakwa ingin mengembalikan
ajaran-ajaran tawhid ke dalam Islam dan kehidupan murni menurut sunnah
Rasulullah serta mereka juga berargumen bahwasanya pada dasarnya ajaran Ibnu Wahhab menurut
mereka adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran tersendiri.
Nama Wahhabi atau al-Wahhabiyyah kelihatan dihubungkan
kepada nama 'Abd al-Wahhab yaitu bapak kepada pengasasnya, al-Syaikh
Muhammad bin 'Abd al-Wahhab al-Najdi. Dia mengikat perjanjian dengan
Muhammad bin Saud, seorang pemimpin suku di wilayah Najd. Sesuai kesepakatan,
Ibnu Saud ditunjuk sebagai pengurus administrasi politik sementara Ibnu Abdul
Wahhab menjadi pemimpin spiritual. Sampai saat ini, gelar "keluarga
kerajaan" negara Arab Saudi dipegang oleh keluarga Saud. Namun mufti umum
tidak selalu dari keluarga Ibnu abdul wahhab misalnya Syaikh 'Abdul 'Aziz bin
Abdillah bin Baz.[2]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kehidupan As Syeikh
Muhammad ibn Abdul Wahhab
1. Masa Kecil
Syeikh Muhammad bin Abdul
Wahab dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung Uyainah (Najd), lebih
kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang. Ia tumbuh dan dibesarkan
dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh agama di
lingkungannya. Sedangkan kakeknya adalah seorang qadhi (mufti besar), tempat di
mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang
bersangkutan dengan agama.
Sebagaimana lazimnya keluarga ulama, maka Syeikh Muhammad
bin Abdul Wahab sejak masih kanak-kanak telah dididik dengan pendidikan agama,
yang diajar sendiri oleh ayahnya, Syeikh Abdul Wahhab. Berkat bimbingan kedua
orangtuanya, ditambah dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syeikh Muhammad
bin Abdul Wahab berhasil menghafal 30 juz al-Quran sebelum ia berusia sepuluh
tahun. Setelah itu, beliau diserahkan oleh orangtuanya kepada para ulama
setempat sebelum akhirnya mereka mengirimnya untuk belajar ke luar daerah
Saudara kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, menceritakan
betapa bangganya Syeikh Abdul Wahab, ayah mereka, terhadap kecerasan
Muhammad. Ia pernah berkata, "Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat
dari ilmu pengetahuan anakku Muhammad, terutama di bidang ilmu Fiqh".
Setelah mencapai usia dewasa, Syeikh Muhammad bin Abdul
Wahab diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima - mengerjakan haji di
Baitullah. Ketika telah selesai menunaikan ibadah haji, ayahnya kembali ke
Uyainah sementara Muhammad tetap tinggal di Mekah selama beberapa waktu dan
menimba ilmu di sana. Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk berguru kepada
ulama disana. Di Madinah, ia berguru pada Syeikh Abdullah bin
Ibrahim bin Saif an-Najdi (Imam
bidang fiqh dan Ushul Fiqh), Syeikh Ibrahim bin Abdillah putra Syeikh Abdullah
bin Ibrahim bin saif (Penulis kitab adzbul faidh syarah al fiyah al faraidah)
serta Syeikh Muhaddits Muhammad Bin Hayah Al Sindi dan beliau
mendapatkan ijazah dalam periwayatannya dari kitab-kitab hadits.[3]
Kemudian beliau kembali ke negerinya. Tidak cukup ini saja,
beliau kemudian melanjutkan perjalanan ke negeri Al Ahsa’ di sebelah timur
Najd. Disana banyak ulama mahdzab Hambali, Syafi’i, Maliki dan Hanafi. Beliau
belajar pada mereka khususnya kepada para ulama mahdzab Hambali. Di
antaranya adalah Syeikh Muhammad bin inisFairuz , beliau belajar fiqih
kepada mereka dan juga belajar kepada Abdullah Bin Abdul Lathif Al Ahsa’i.[4]
Sehingga nama beliau sering dinisbatkan kepada mazhab hambali.
2. Kehidupan dimadinah dan
dibasroh
Ketika berada di kota Madinah, ia mengira banyak umat Islam
di sana yang tidak menjalankan syariat dan berbuat syirik, seperti mengunjungi
makam Nabi atau makam seorang tokoh agama, kemudian memohon sesuatu kepada
kuburan dan penguhuninya. Hal ini menurut dia sangat bertentangan dengan ajaran
Islam yang mengajarkan manusia untuk tidak meminta selain kepada Allah.
Hal ini membuat Syeikh Muhammad semakin
terdorong untuk memperdalam ilmu ketauhidan yang murni (Aqidah Salafiyah). Ia pun berjanji pada dirinya
sendiri, ia akan berjuang dan bertekad untuk mengembalikan aqidah umat Islam di sana sesuai
keyakinannya, yaitu kepada akidah Islam yang menurutnya murni (tauhid),
jauh dari sifat khurafat, tahayul, atau bidah. Untuk itu, ia pun mulai mempelajari
berbagai buku yang di tulis para ulama terdahulu.
Setelah beberapa lama menetap di Mekah dan Madinah, ia
kemudian pindah ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih lama,
sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehinya, terutaman di bidang hadits dan musthalahnya, fiqih dan usul fiqhnya, serta ilmu
gramatika (ilmu qawaid). Selain belajar, ia sempat juga berdakwah di
kota ini.
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab memulai dakwahnya di
Basrah, tempat di mana beliau bermukim untuk menuntut ilmu ketika itu. Akan
tetapi dakwahnya di sana kurang bersinar, karena menemui banyak rintangan dan
halangan dari kalangan para ulama setempat.
Di kota Basrah beliau
didukung oleh seorang ulama yang juga termasuk gurunya yang bernama Syeikh Muhammad al-Majmu’i. Tetapi Syeikh Muhammad bin `Abdul
Wahab bersama pendukungnya mendapat tekanan dan ancaman dari sebagian ulama
yang dituduhnya sesat. Akhirnya beliau meninggalkan Basrah dan mengembara ke
beberapa negeri Islam untuk menyebarkan ilmu dan pengalamannya.
Pada tahun 1139H/1726M, orang tuanya berpindah dari 'Uyainah
ke Huraymilah dan dia ikut serta dengan orang tuanya dan belajar kepada ayahnya.
Tetapi beliau masih meneruskan tentangannya yang kuat terhadap amalan-amalan
agama di Najd. Hal ini yang menyebabkan adanya pertentangan dan perselisihan
yang hebat antara beliau dengan ayahnya (serta penduduk-penduduk Najd). Keadaan
tersebut terus berlanjut hingga ke tahun 1153H/1740M, saat ayahnya meninggal
dunia
Disamping
Syaeikh Muhammad ibn Abdul Wahhab belajar kepada para ulama berbagai ilmu
diberbagai tempat beliau juga mempelajari buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
dan Ibnul Qayyim , beliau menyalin banyak buku di Al Ahsa’ dan Bashrah,
sehingga terkumpullah kitab-kitab beliau dalam jumlah yang besar, sehingga
beliau terkenal pula penerus Ibnu Taimiyah.
B.
Perjuangan As syeikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab memurnikan
dan mengembalikan Ajidah Islam
1.
Awal Pergerakan
Sejak meninggalnya ayahanda beliau, Syeikh Muhammad tidak
lagi terikat. Dia bebas mengemukakan akidah-akidahnya sekehendak hatinya,
menolak dan mengesampingkan amalan-amalan agama yang dilakukan umat islam saat
itu.
Melihat keadaan umat islam yang menurutnya sudah melanggar
akidah, ia mulai merencanakan untuk menyusun sebuah barisan ahli tauhid (muwahhidin)
yang diyakininya sebagai gerakan memurnikan dan mengembalikan akidah Islam.
Oleh lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.
Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya
sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut baik ide dan
gagasan Syeikh Muhammad, bahkan beliau berjanji akan menolong dan mendukung
perjuangan tersebut.
Suatu ketika, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab meminta izin
pada Amir Uthman bin muammar untuk menghancurkan sebuah bangunan yang dibina di
atas maqam Zaid bin al-Khattab. Zaid bin al-Khattab adalah saudara kandung Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Membuat bangunan di atas
kubur menurut pendapatnya dapat menjurus kepada kemusyrikan. Lalu Amir
menyediakan 600 orang tentara untuk tujuan tersebut bersama-sama Syeikh
Muhammad merobohkan maqam yang dikeramatkan itu.
Pergerakan Syeikh Muhammad tidak berhenti sampai disitu, ia
kemudian menghancurkan beberapa makam yang dipandangnya berbahaya bagi
ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk mencegah agar makam tersebut
tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat. Berita
tentang pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah
mahupun di luar Uyainah.
Ketika pemerintah al-Ahsa' mendapat berita bahwa Muhammad
bin'Abd al-Wahhab mendakwahkan pendapat, dan pemerintah 'Uyainah pula
menyokongnya, maka kemudian memberikan peringatan dan ancaman kepada
pemerintah'Uyainah. Syeikh Muhammad untuk membicarakan tentang cara tekanan
yang diberikan oleh Amir al-Ihsa. Amir Uyainah berada dalam posisi serba salah
saat itu, di satu sisi dia ingin mendukung perjuangan syeikh tapi di sisi lain
ia tak berdaya menghadapi tekanan Amir al-Ihsa. Akhirnya, setelah terjadi
perdebatan antara syeikh dengan Amir Uyainah, di capailah suatu keputusan:
Syeikh Muhammad harus meninggalkan daerah Uyainah dan mengungsi ke daerah lain,
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab kemudian pergi ke negeri Dar’iyah[5]
2.
As Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahhab di daerah Dariyah
Sesampainya Syeikh Muhammad di sebuah kampung wilayah
Dariyah, yang tidak berapa jauh dari tempat kediaman Amir Muhammad bin Saud (pemerintah negeri Dar’iyah), Syeikh
menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut bernama Muhammad bin Sulaim
al-`Arini.
Bermula dari
sinilah As Syeikh Muhammad ibn
Abdul Wahhab mendapat dukungan dari amir
Muhammad bin Saud serta masyarakat sekitar.
Nama Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan ajaran-ajarannya
itu sudah begitu terdengar di kalangan masyarakat, baik di dalam negeri Dariyah maupun
di negeri-negeri tetangga. Masyarakat luar Dariyah pun berduyun-duyun datang ke
Dariyah untuk menetap dan tinggal di negeri ini, sehingga negeri Dariyah penuh
sesak dengan kaum muhajirin dari seluruh pelosok tanah Arab. Ia pun mulai
membuka madrasah dengan menggunakan kurikulum yang menjadi teras bagi
rencana perjuangan beliau, yaitu bidang pengajian Aqaid al-Qur’an,
tafsir, fiqh, usul fiqh, hadith, musthalah hadith, gramatikanya dan
lain-lain
Syeikh mula menegakkan jihad, menulis surat-surat dakwahnya kepada
tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung dengan barisan Muwahhidin yang
dipimpin oleh beliau sendiri. Hal ini dalam rangka pergerakan pembaharuan
tauhid demi membasmi syirik, bidah dan khurafat di negeri mereka masing-masing. Untuk
langkah awal pergerakan itu, beliau memulai di negeri Najd.
Karena beliau memahami semua ajaran yang tidak ada
landasannya dalam Al Qur’an serta segala seuatu bentuk ajaran yang tidak pernah
dilakukan oleh Nabi Muhhamad saw adalah bentuk bid’ah, sedangkan semua bid’ah
(hal yang baru) semua mesesarkan yang akan bermuara pada api neraka.
Pemahamman ini dengan dukungan penguasa ‘Ibn Suud’
sampai saat ini dapat berkembang pesat dan banyak pengikutnya bahkan menjadi
mazhab resmi kerajaan, walaupun tidak sedikit pula para ulama yang tidak
sepahaman menentangnya.
3. Karya –karya As Syeikh
Muhammad ibn Abdul Wahhab
Karya beliau sangat
banyak, diantaranya:
- Kitab Tauhid Al
Ladzi Huwa Haqqullah ‘ala Al ‘Abid
- Al Ushul Ats
Tsalatsah
- Kasfusy Syubhat
- Mukhtasar Sirah
Rasul
- Qawaidul
‘Arba’ah dan lainnya
4. Ulama’-ulama yang
menentang As Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahhab
Setelah
berkembangnya pemikiran Wahabi, orang pertama yang menolak terhadap paham
wahabisme itu adalah saudaranya sendiri, yakni Sulaiman bin Abdul Wahab dalam
buku (As-Sowaa’iqul illahiyyah). Setelah beliau, banyak para ulama dan
tokoh-tokoh pemuka Ahlusunnahlainnya melontarkan kritikan terhadap pahamnya
itu. Barangkali lebih dari 100 judul buku yang telah ditulis untuk menentang
pemikiran abdul wahab tersebut, di antaranya:
a.
Abdullah bin
Lathif Sya’fii penulis (Tajrid Syaiful al-jihad lil Mudda’i al–Ijtihad)
b.
Afifuddin Abdullah
bin Dawud Hanbali penulis (As-sawa’iq wa al-Ruduud)
c.
Muhammad bin
Abdurrahman bin Afalik Hanbali penulis (Tahkamu al-Muqalladin biman ad’i
Tajdidi ad-Diin)
d.
Ahmad bin Ali bin
Luqbaani Basri penulis risalah kritik atas keyakinan anaknya Abdul wahab.
e.
Syeikh Atho’ Allah
Makki, penulis (Al-Aarimul al-Hindi fi Unuqil Najdi)[6]
5.
Murid-murid As
Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahhab
Pengikut dan penerus perjuangan As Syeikh Muhammad ibn
Abdul Wahhab sangat banyak sekali diantaranya :
a.
Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani,
b.
Syaikh Muhammad bin
Ibrahim
c.
Imam Allamah Al-Bashir
Abu Abdullah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
d.
Allamah Abdurrahman bin
Yahya Al-Mu’alimi Al-Yamani
e.
Allamah Mahmud Syakir
Al-Mishri
f.
Abdurrahman Al-Wakil,
Abdurrahman Hamzah, Muhammad Khalil Harras.
C.
Wafatnya
As Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahhab
Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama
48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis,
mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan
Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdulwahab berdakwah sampai usia 92
tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793
M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah (Najd).
D.
Penutup
Demikianlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dalam dakwah
dan jihadnya telah memanfaatkan lisan, pena serta pedangnya seperti yang
dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam sendiri, di waktu baginda
mengajak kaum Quraisy kepada agama Islam pada waktu dahulu. Yang demikian itu
telah dilakukan terus menerus oleh Syeikh Muhammad selama lebih kurang 48 tahun
tanpa berhenti, yaitu dari tahun 1158 Hinggalah akhir hayatnya pada tahun 1206
H.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Nama lengkap Syeikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab adalah Syaikh al-Islam al-Imam Muhammad bin Abdul
Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin
Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi
2.
Syeikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab dilahirkan daerah Uyainah
daerah Riyad pada tahun 1115 H/1703 M
dan beliau meninggal Dar’iyah (Najd) pada tahun1206 H/1793 M
3.
Minat Syeikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab yaitu pemurnia
syariat Islam sesuai ajaran Nabi Muhammad dengan gagasan melarang adanya
inivasi (bid’ah) dan menyakini tidak adanya kekuatan selain Alloh (syirik)
4.
Pemikiran Syeikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab dipengaruhi oleh
pemikiran Ahmad ibn hambal, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim
DAFTAR
PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Abdul_Wahhab
http://ghuroba.blogsome.com/2007/06/26/syaikh-muhammad-bin-abdul-wahhab
Islam@isnet.org dari adi nugroho :adi-oke2@yahoo.com
tulisannya kurang jelas mas..
BalasHapus