PERANAN ULIL AMRI (PEMIMPIN) DALAM PERSPEKTIF
AL-QUR`AN DAN PENDIDIKAN ISLAM
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
matakuliah
Studi Al-Qur`an
Prof.Dr. H. Suharto, S.H, M.A
Disususn
Oleh:
EKO
MUSTIOKO
IAIN RADEN INTAN BANDAR LAMPUNG
PROGRAM PASCASARJANA (PPS)
2009
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perihal mengenai kepemimpinan dalam Islam merupakan suatu
wacana yang selalu menarik untuk didiskusikan. Wacana kepemimpinan dalam Islam
ini sudah ada dan berkembang, tepatnya pasca Rasulullah SAW wafat. Wacana
kepemimpinan ini timbul karena sudah tidak ada lagi Rasul atau nabi setelah
Nabi Muhammad SAW wafat.
Dalam firman Allah SWT dikatakan bahwa Al-qur’an itu
sudah bersifat final dan tidak dapat diubah-ubah lagi. Sehingga Rasulullah SAW
adalah pembawa risalah terakhir dan penyempurna dari risalah-risalah
sebelumnya. “ Telah
sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil.
Tak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya.”(Q.S Al-An’am:115).
M£Js?ur àMyJÎ=x. y7În/u $]%ôϹ Zwôtãur 4 w tAÏdt6ãB ¾ÏmÏG»yJÎ=s3Ï9 4 uqèdur ßìÏJ¡¡9$# ÞOÎ=yèø9$#
Artinya : Telah sempurnalah
kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang
dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan dia lah yang Maha Mendenyar lagi
Maha Mengetahui.
Tidaklah mungkin akan ada seorang nabi baru setelah
Rasulullah SAW. Karena ketika ada seorang nabi baru setelah Rasulullah SAW maka
akan ada suatu risalah baru sebagai penyempurna dari risalah sebelumnya,
sehingga artinya Al-qur’an tidaklah sempurna dan Allah menjadi tidak konsisten
terhadap pernyataannya yang ia sebutkan dalam ayat di atas.
Ketika
Rasulullah SAW wafat, berdasarkan fakta sejarah dalam Islam, Umat Islam
terpecah belah akibat perdebatan mengenai kepemimpinan dalam Islam, khususnya
mengenai proses pemilihan pemimpin dalam Islam dan siapa yang berhak atas
kepemimpinan Islam.
Sejarah
mencatat bahwa kepemimpinan Islam setelah Rasulullah SAW wafat dipimpin oleh
Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, Muawiyah,
dan Bani Abbas. Setelah dinasti Abbasyiah kepemimpinan Islam terpecah pecah ke
dalam kesultan-kesultanan kecil.
Permasalahan kepemimpinan ini membuat Islam menjadi
terfragmentasi dalam kelompok-kelompok, diantaranya yang terbesar adalah adanya
kelompok Sunni dan Syiah. Kedua kelompok besar ini memiliki konsep dan pahaman
kepemimpinan yang sangat jauh berbeda. Kedua kelompok ini memiliki dalil dan
argumentasi yang sama-sama menggunakan sumber Islam yaitu Al-qur’an dan Sunnah. Kedua kelompok ini terkadang
saling berseteru satu sama lain, dan juga ada yang sampai mengkafirkan satu
sama lain. Kondisi ini sangatlah tidak sehat bagi perkembangan kaum muslimin,
harusnya mereka dapat berargumentasi secara rasional dan logis. Sehingga kaum
muslim dapat melihat dan menilai apakah proposisi-proposisi yang dikeluarkan
merupakan suatu kebenaran atau tidak.
Pada dasarnya sejarah tak bersih dari peristiwa kelam.
Sejarah setiap bangsa, dan pada dasarnya sejarah umat manusia, merupakan
himpunan peristiwa menyenangkan dan tidak menyenangkan. Pasti begitu. Allah
menciptakan manusia sedemikian sehingga manusia tidak bebas dari dosa.
Perbedaan yang terjadi pada sejarah berbagai bangsa, komunitas dan agama
terletak pada proporsi peristiwa menyenangkan dan tidak menyenangkan, bukan
pada fakta bahwa mereka, hanya memiliki peristiwa menyenangkan saja atau tidak
menyenangkan saja[1]
Proses memahami sejarah tidak boleh berlandaskan suka
atau tidak suka, dan juga harus siap menerima segala konsekuensi yang timbul
setelah kita menelaah sejarah tersebut.
Dalam
makalah ini penulis berusaha untuk berhenti pada konsep-konsep kepemimpinan tetapi
juga membahas sejarah 4 khilafah setelah Rasulullah SAW, serta menyinggung
Dinasti Muawiyah dan Abbasyiah. penulis mencoba untuk menarik nilai-nilai apa
yang bisa didapat untuk membentuk konsep-konsep kepemimpinan dalam Islam.
B. Rumusan
Masalah
Ada beberapa pertanyaan yang dapat saya ajukan seputar
pembahasan makalah kepemimpinan dalam Islam ini, yaitu:
1.
Apa yang dimaksud dengan
pemimpin dan kepemimpinan serta kenapa kepemimpinan dalam Islam di perlukan?
2.
Bagaimana syarat-syarat
kepemimpinan dalam Islam?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk medeskripsikan pemimpin
dan kepemimpinan serta kenapa kepemimpinan dalam Islam di perlukan.
2.
Bagaimana syarat-syarat
kepemimpinan dalam Islam.
BAB II
KEPEMIMPINAN DALAM
MASYARAKAT ISLAM
A.
Pemimpin, Kepemimpinan, dan Signifikansinya dalam
Islam
Ketika ingin memulai suatu pembahasan ada baiknya kita
melakukan suatu pendefinisian atas pokok bahasan kita. Pendefinisian ini
membantu kita untuk memahami dan mensistematiskan alur pembahasan. Kepemimpinan
berasal dari kata pemimpin, yang artinya adalah orang yang berada di depan dan
memiliki pengikut, baik orang tersebut menyesatkan atau tidak. Ketika berbicara
kepemimpinan maka ia akan berbicara mengenai prihal pemimpin, orang yang
memimpin baik itu cara dan konsep, mekanisme pemilihan pemimpin, dan lain
sebagainya. Terdapat ragam istilah mengenai Kepemimpin ini, adanya yang
menyebutkan Imamah dan ada Khilafah. Masing–masing kelompok Islam memiliki
pendefinisian berbeda satu sama lain, namun ada juga yang menyamakan arti
Khilafah dan Imamah.
Seorang ulama bernama Syekh Abu Zahra dari kelompok Sunni
menyamakan arti Khilafah dan Imamah. Ia berkata, ”Imamah itu disebut juga
sebagai Khilafah. Sebab orang yang menjadi khilafah adalah penguasa tertinggi
bagi umat Islam yang menggantikan Rasul SAW. Khalifah itu juga disebut sebagai
Imam (pemimpin) yang wajib ditaati. Manusia berjalan di belakangnya,
sebagaimana manusia shalat di belakang imam.” [2]
Kelompok Syiah dalam hal kepemimpinan membedakan
pengertian antara khilafah dan Imamah. Hal ini dapat dilihat berdasarkan fakta
sejarah kepemimpinan dalam Islam setelah Rasulullah SAW wafat. Kelompok Syiah
sepakat bahwa pengertian Imam dan Khilafah itu sama ketika Ali Bin Abi Thalib
diangkat menjadi pemimpin. Namun sebelum Ali menjadi pemimpin mereka membedakan
pengertian Imam dan Khilafah. Abu Bakar, Umar Bin Khattab, dan Utsman adalah
Khalifah, namun mereka bukanlah Imam
[3]
Bagi kelompok Syi’ah sikap seorang Imam haruslah mulia
sehingga menjadi panutan para pengikutnya. Imamah didefinisikan sebagai
kepemimpinan masyarakat umum, yakni seseorang yang mengurusi persoalan agama
dan dunia sebagai wakil dari Rasulullah SAW, Khalifah Rasulullah SAW yang
memelihara agama dan menjaga kemuliaan umat dan wajib di patuhi serta diikuti.
Imam mengandung makna lebih sakral dari pada khalifah. Secara implisit kaum
Syi’ah meyakini bahwa khalifah hanya melingkupi ranah jabatan politik saja,
tidak melingkupi ranah spiritual keagamaan. Sedangkan Imamah melingkupi seluruh
ranah kehidupan manusia baik itu agama dan politik.
Wacana mengenai kepemimpinan di kalangan umat Islam
memiliki ragam pendapat. Pada golongan besar umat Islam, yakni Sunni dan Syi’ah
terdapat konsep kepemimpinan yang signifikan berbeda. Bahkan di kalangan umat
Islam yang mengklaim dirinya bukanlah bagian dari suatu kelompok besar tersebut
juga memiliki pandangan berbeda, kelompok ini cenderung pada pemikiran konsep
kepemimpinan barat. Kelompok ini sering disebut sebagai kalangan umat Islam
yang sekuler. Banyak ragam pendapat mengenai kepemimpinan dalam Islam.
Akan tetapi ketiga kelompok Islam di atas memiliki
kesepahaman bahwa suatu masyarakat haruslah memiliki seorang pemimpin. Suatu
masyarakat tidaklah mungkin dipisahakan dari sebuah kepemimpinan.
Secara
sosiologis masyarakat dan kepemimpinan merupakan dua istilah yang tidak dapat
dipisahkan. Syari’ati berkeyakinan bahwa ketiadaan kepemimpinan menjadi sumber
munculnya problem-problem masyarakat, bahkan masalah kemanusiaan secara umum.
Menurut Syari’ati pemimpin adalah pahlawan, idola, dan insan kamil, tanpa
pemimpin umat manusia akan mengalami disorientasi dan alienasi.
Ketika suatu masyarakat membutuhkan seorang pemimpin,
maka seorang yang paham akan realitas masyarakatlah yang pantas mengemban
amanah kepemimpinan tersebut. Pemimpin tersebut harus dapat membawa masyarakat
menuju kesempurnaan yang sesungguhnya. Watak manusia yang bermasyarakat ini
merupakan kelanjutan dari karakter individu yang menginginkan perkembangan dirinya
menuju pada kesempurnaan yang lebih.
Terdapat
perbedaan yang cukup signifikan antara kelompok Islam sekuler dengan kelompok
Islam yang tidak memisahkan kehidupan beragama dengan kehidupan berpolitik.
Kelompok Islam Sekuler menyatakan bahwa kaum ulama tidaklah wajib untuk
berkecimpung didalam dunia politik. Pandangan ini didasarkan pada pandangan
bahwa kehidupan agama merupakan urusan pribadi masing-masing individu (privat),
tidak ada hubungannya dengan dunia politik (publik). Sehingga peran ulama hanya
terbatas pada ritual-ritual keagamaan semata, jangan mengurusi kehidupan dunia
politik. Dalam kondisi seperti ini maka ulama tidaklah mungkin menjadi pemimpin
dari suatu masyarakat, ulama hanya selalu menjadi subordinasi dan/atau alat
legitimasi pemimpin politik dari masyarakat.
Sedangkan kelompok anti sekuler yang meyakini bahwa
kehidupan beragama dan dunia tidak dapat dipisahkan khususnya dunia politik.
Kelompok ini mendukung dan meyakini bahwa ulama haruslah memimpin. Ulama harus
dapat membimbing manusia tidak hanya menuju pada kebaikan yang bersifat dunia,
akan tetapi juga hal-hal yang menuju pada kesempurnaan spiritual. Para ulama
yang menduduki jabatan politik haruslah dapat melepaskan manusia dari
belenggu-belenggu dunia yang menyesatkan.
Ulama berasal dari kata bahasa arab dan semula ia
berbentuk jamak, yaitu alim artinya adalah orang yang mengetahui atau orang
pandai. Seorang pemimpin revolusi Iran, yaitu Imam Khomaini dalam konteks
pemerintahan ia menggunakan kata Fuqaha untuk mengganti istilah ulama.
[4]Kepemimpinan
seorang Fuqaha (ulama) adalah suatu kemestian. Ia memiliki 2 alasan, yaitu :
Pertama, alasan yang teologis berupa riwayat dari Nabi Muhammad SAW,adalah
”Fuqaha adalah pemegang amanat rasul, selama mereka tidak masuk keduania”,
kemudian seseorang bertanya, ” Ya Rasul, apa maksud dari perkataan mereka tidak
masuk ke dunia. Lalu Rasul menjawab, ” mengikuti penguasa. Jika mereka
melakukannya maka khawatirkanlah (keselamatan) agama kalian dan menjauhlah
kalian dari mereka. Kedua, alasan Rasional bahwa tidaklah adil sekiranya Tuhan
membiarkan ummatnya bingung karena ketidakmampuan mereka menafsirkan maksud
Tuhan dalam konteks zamannya. Jabatan ulama bukanlah jabatan struktur akan
tetapi ia merupakan suatu pengakuan dari ummatnya. Ummat dalam hal ini haruslah
juga bersikap kritis terhadap ulamanya untuk menguji kwalitas dari seorang
ulama tersebut.
Pendapat yang tidak rasional dari kedua kelompok di atas
adalah kelompok Islam sekuler. Kelompok Islam sekuler hanya memahani Islam
secara parsial ,atau bisa jadi mereka ditugaskan oleh kelompok pembenci Islam
untuk mendistorsi pahaman umat Islam akan agamanya.
Alam semesta dan manusia memiliki dimensi materi dan
imateri. Islam merupakan agama yang sempurna dimana pengaturannya meliputi
seluruh alam semesta ini. Ketika kehidupan beragama dipisahkan dari aktivitas
politik, maka seolah-olah Islam tidak mengatur bagaimana kehidupan berpolitik
dan bermasyarakat. Justru terkadang manusia memiliki pengetahuan yang terbatas
terhadap realitas alam semesta ini. Sehingga manusia dapat saja berbuat
kekeliruan dalam bertindak dan memutus suatu perkara. Manusia dalam hal ini
seolah-olah tidak berdaya, akan tetapi kalau dicerna lebih lanjut maka ini
sebenarnya menguntungkan, karena ada kerja Ilahi yang mengantarkan manusia pada
kesempurnaan. Manusia cukup mentaati dan menerapkan hukum Allah tersebut.
Hanya manusia-manusia yang dibimbing oleh Tuhanlah yang
dapat memahami realitas alam semesta. Manusia yang memahami agama Islam secara
komprehensif baik dimensi materi ataupun imateri yang dapat membawa suatu
masyarakat menuju arah kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki. Selain itu
diangkatnya seseorang menjadi pemimpin (nabi, para imam, atau ulama/fuqaha)
juga berdasarkan gerak dan kebijaksanaan yang diraih oleh orang tersebut dalam
perjalanan spiritualnya. Dalam hal ini terdapat faktor dari dari manusia itu
sendiri yang kemudian dijaga dan diridhoi Allah SWT.
Kepemimpinan dalam Islam haruslah seorang tokoh ulama
yang benar-benar bertanggung jawab penuh atas kemaslahatan dan keselamatan
ummatnya. Baik itu golongan Islam Sunni atau pun Syi’ah sepakat bahwa ulama
harus memimpin segala bidang baik itu spiritual maupun politik dalam kehidupan
bermasyarakat.
Sebelum masuk ke dalam kriteria kepemimpinan terdapat
perbedaan pandangan antara kelompok Sunni dan Syi’ah mengenai pola pemilihan
kepemimpinan. Sunni sepakat bahwa kepemimpinan tersebut dipilih secara
musyawarah oleh ummat Islam. Pendapat mereka ini berlandaskan pada :
(Q.S
Asy-Syura :38 )
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÑÈ
Artinya : Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezki yang kami berikan kepada mereka.
(Ali-Imran :159 )
$yJÎ6sù 7pyJômu z`ÏiB «!$# |MZÏ9 öNßgs9 ( öqs9ur |MYä. $àsù xáÎ=xî É=ù=s)ø9$# (#qÒxÿR]w ô`ÏB y7Ï9öqym ( ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó$#ur öNçlm; öNèdöÍr$x©ur Îû ÍöDF{$# ( #sÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ
Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.
dan juga
pidato Umar Bin Khattab mengenai pertemuan di Saqifah yang mengharuskan ummat
Islam bermusyawarah dalam menetapkan pemimpin.
Sedangkan kalangan Syi’ah sepakat bahwa urusan
kepemimpinan setelah Rasulullah SAW wafat, maka Allah SWT melalui Rasul-Nya
telah menetapakan pemimpin setelah Rasul SAW, yaitu Ali Bin Abi Thalib beserta
keturunannya dari Fathimah Az-Zahra. Bahkan kelompok Syi’ah ini memasukkan
kepemimpinan ini ke dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin).
Kalangan
Syi’ah memiliki alasan yang juga dilandasi Al-qur’an dan Sunnah untuk mendukung
argumentasinya diantaranya adalah, yaitu QS Al-Ahzab : 33, Hadits Tsalaqain dan
Hadits Ghadir Khum.
tbös%ur Îû £`ä3Ï?qãç/ wur Æô_§y9s? yly9s? Ïp¨Î=Îg»yfø9$# 4n<rW{$# ( z`ôJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# úüÏ?#uäur no4q2¨9$# z`÷èÏÛr&ur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 $yJ¯RÎ) ßÌã ª!$# |=ÏdõãÏ9 ãNà6Ztã }§ô_Íh9$# @÷dr& ÏMøt7ø9$# ö/ä.tÎdgsÜãur #ZÎgôÜs?
Artinya :
Dan tetaplah kamu di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang jahiliah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat
dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya.” (Q.S Al-Ahzab :33)
Hadits
Tsalaqain : Nabi saw bersabda, “Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat, yaitu
Kitab Allah dan keturunanku.” (Shahih Muslim, Jilid VII, hal. 122)
Hadits
Ghadir Khum : Nabi saw bersabda, “Bukankah aku lebih berwenang atas diri kalian
dibanding kalian sendiri?” Semua yang hadir mengatakan, “Betul, Ya Rasulullah.”
Kemudian Nabi saw membuat deklarasi, “Ali ini adalah pemimpin (penguasa) orang
yang menjadikan aku sebagai pemimpin (penguasa)-nya.”
Sesungguhnya yang dimaksud Nabi adalah bahwa Nabi akan
meninggalkan dua otoritas yang menjadi tempat bertanya tentang semua masalah keagamaan
dan sosial. Dalam bagian akhir hadis ini, Nabi bersabda, “Selama kalian
berpegang pada keduanya, kalian tidak akan sesat.” Jadi persoalannya adalah
persoalan mengikuti (berpegang). Nabi saw mendeklarasikan bahwa keturunannya
sama dengan Al-Qur’an. Nabi sendiri mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah tsaqal
besar, sedang keturunannya adalah tsaqal kecil[5]
Dari permasalahan di atas dapat dilihat adanya dua pokok
pemikiran yang cukup tajam perbedaaannya. Kelompok Sunni percaya bahwa setelah
Rasulullah SAW wafat maka kepemimpinan itu diserahkan kepada ummat Islam
melalui musyawarah. Kelompok Sunni secara otomatis juga meyakini bahwa tidak
ada pemimpin yang ditentukan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya dalam hal memimpin
ummat manusia di muka bumi ini, cukuplah Al-qur’an dan Sunnah Rasul sebagai
pegangannya. Seorang Ulama Sunni, Dr. Ali As-Salus dalam bukunya Imamah dan
Khilafah dalam Tinjauan Syar’i menyatakan bahwa kepemimpinan (Imamah) itu
bukanlah ditetapkan dengan dengan nash atau penunjukan (1997, 181-182).
Sedangkan kelompok Syi’ah percaya bahwa kepemimpinan
setelah Rasul merupakan hak Allah SWT. Tidak ada peran manusia dalam menentukan
pemimpin setelah Rasulullah SAW wafat. Kelompok Syi’ah percaya bahwa Allah SWT
menentukan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pemimpin ummat Islam setelah
Rasulullah SAW. Kelompok Syi’ah menyatakan kebutuhan manusia akan Imam
(Pemimpin), sama dengan dalil bahwa manusia membutuhkan seorang Nabi, ketika
manusia memasuki zaman ketiadaan nabi, maka manusia memerlukan imam (pemimpin)[6]
Mengenai diskursus kedua pendapat ini, penulis mencoba
untuk menarik pokok permasalahan lebih kepada argumentasi rasional dan
filosofis. Alasannya bahwa kedua kelompok tersebut merupakan manusia yang
memiliki akal. Akan tetapi manusia bukanlah makhluk yang berlogika. Hal ini
karena ada beberapa manusia yang memiliki akal namun ia tidak menggunakan
hukum-hukum akal. Logika merupakan suatu ilmu pengetahuan mengenai hukum-hukum
akal yang dapat membantu manusia mengetahui benar dan salah. Manusia pasti
memiliki akal karena itu merupakan suatu fitrah, akan tetapi terkadang ada
manusia yang selalu menggunakan perasaan atau hawa nafsu saja. Manusia pastilah
makhluk berakal, akan tetapi ia belum tentu makhluk yang berlogika.
Tidak dapat disangkal bahwa manusia adalah makhluk hidup
berjenis hewan, yang mana ia memiliki akal, hati, dan nafsu yang ghalibnya juga
adalah mahluk sosial. Manusia tidak dapat melepaskan fitrah kesosialannya.
Menurut muthahari dalam tiga teori pembentukan masyarakat, kefitrahan manusia
sebagai unsur yang paling yang membentuk masyarkat
Pertama,
manusia bermasyarakat karena kemampuannya berpikir dan memperhitungkan (faktor
intelektual), misalkan manusia berkerja sama dalam membangun suatu perusahaan
yang memberi keuntungan besar bagi manusia tersebut. Kedua, kehidupan
bermasyarakat manusia merupakan dorongan dari luar diri manusia, misalkan
manusia membentuk masyarakat karena untuk mempertahankan dirinya dari serangan
musuh manusia lain. Ketiga, kehidupan bermasyarakat manusia itu merupakan suatu
fitrah, dimana masing-masing manusia cenderung untuk menyatu dengan
keseluruhan, misalkan kehidupan suami istri.
Dengan
adanya kondisi ini maka manusia dapat dikatakan merupakan makhluk sosial yang
saling membutuhkan satu sama lain. Ketika membentuk suatu masyarakat maka
dimensi individu kemanusiaan tersebut masih tetap ada. Namun dari
individu-individu tersebut terdapat kesamaan yang dapat menyatukannya menjadi
masyarakat, misalkan bahwa manusia itu ingin selalu bahagia, akan tetapi bentuk
kebahagiaan tersebut pastilah beragam. Ragam bentuk tersebut tidaklah
bertentangan satu sama lain. Misalkan manusia menjadi bahagia ketika ia
mendapatkan pekerjaan yang halal dan ia dambakan, ada manusia lain bahagia
ketika ia mendapatkan rumah dan mobil dengan cara yang halal. Artinya dalam
membentuk masyarakat terdapat tujuan bersama yang harus disepakati terlebih
dahulu.
Masyarakat ketika ingin mencapai tujuan bersama tersebut
maka masyarakat haruslah bersifat homogen, tidaklah mungkin ia bersifat
heterogen. Karena masyarakat yang bersifat heterogen, maka ia akan menjadi
masyarakat yang tidak memiliki tujuan bersama. Ketika tidak memiliki tujuan
bersama maka ia bukanlah masyarakat, akan tetapi hanya kumpulan manusia-manusia
yang memiliki ragam tujuan yang berbeda satu sama lain. Kondisi ini akan dapat
membuat chaos hubungan kehidupan manusia, dan tidaklah pernah tercipta apa yang
dinamakan masyarakat.
Kita tahu bahwa manusia tadi memiliki yang namanya akal,
hati dan nafsu terhadap duniawi. Dan terkadang hawa nafsu duniawi tersebut
justru menjadi berlebihan dan kemudian merusak akal dan hati manusia. Kondisi
manusia seperti ini akan dapat merusak yang namanya tatanan masyarakat. Dan
bahkan bila kondisi ini menyebar pada manusia yang lain, maka hawa nafsu hewani
manusia tersebut berubah jiwa masyarakat. Yang kemudian masyarakat tersebut
memiliki tujuan yang dominan pada kehidupan duniawi yang bersifat hewani,
bahkan lebih parah lagi dari hewan, misalkan dilegalkannya oleh suatu
masyarakat kehidupan seks bebas, minuman keras dijual bebas, dan bisnis
prostitusi menjadi legal, dsb.
Manusia
memiliki pengetahuan yang terbatas, namun setiap manusia memiliki potensi yang
sama dalam hal mencapai pengetahuan yang hakiki. Hal ini di karenakan bahwa
seluruh umat manusia pada dasarnya memiliki fitrah yang baik dan sama. Akan
tetapi dalam proses kehidupannya manusia banyak mendapatkan tantangan dan
hambatan. Dalam proses ini manusia ada yang mampu mendapatkan pengetahuan yang
hakiki, namun ada juga yang terjerumus pada kenikmatan dunia yang menyesatkan
dan semu.
Dengan adanya kecenderungan manusia dan masyarakat yang
seperti ini, maka Allah SWT sebagai Sang Pengasih, Penyayang dan Sang Pemberi
petunjuk pastilah tidak akan membiarkan hambaNya tersesat dan kehilangan jati
diri kemanusiaan. Sang Pemberi petunjuk dengan sifat Keadilan-Nya pastilah
menciptakan suatu hukum yang adil untuk mengatur alam semesta ini, yang di
dalamnya terdapat pengaturan mengenai petunjuk hidup bagi manusia dan
masyarakat.
Petunjuk tersebut kemudian kita sebut sebagai wahyu.
Dunia kita ini merupakan suatu dunia yang penuh dengan tujuan. Tiap-tiap
sesuatu diarahkan untuk menuju ke tujuan evolusionernya oleh kekuatan yang ada
didalam dirinya, dan kekuatan yang ada didalam dirinya itu adalah petunjuk
Allah. Wahyu menurut Al-qur’an tidak hanya untuk manusia saja, akan tetapi
untuk seluruh ciptaan-Nya. Wahyu tersebut memiliki tingkatan-tingkatan,
tingkatannya beragam sesuai dengan tingkatan kwalitas evolusi tiap-tiap
sesuatu. Wahyu yang derajatnya lebih tinggi diberikan kepada nabi. Dengan
petujuk tuhan inilah manusia dan masyarakat dapat melangkah menuju suatu
tujuan. Tujuan ini berada diluar alam material yang kasat mata ini. Manusia dan
masyarakat harus menuju pada tujuan ini. Wahyu juga memenuhi kebutuhan manusia
dalam kehidupan sosialnya, suatu kehidupan yang membutuhkan suatu hukum yang di
ridhai oleh Allah SWT[7]
Ketika Allah SWT menurunkan wahyu, agar dapat dicerna
oleh manusia, maka Ia menunjuk seorang nabi yang berwujud manusia. Manusia yang
Allah tunjuk bukanlah sembarang manusia, akan tetapi ia haruslah terbebas dari
segala macam dosa dan tinngkah lakunya harus mencerminkan sifat-sifat Allah.
Manusia ini telah teruji kualitas spiritualnya. Kenapa tidak semua manusia saja
yang diberikan wahyu oleh Allah SWT? Pada prinsipnya setiap manusia pastilah
mendapatkan wahyu dari Allah SWT, akan tetapi terdapat tingkatan-tingkatan
wahyu yang diterima oleh manusia tersebut. Tingkatan ini disesuaikan dengan
kualitas spiritual manusia tersebut. Hanya Allah SWT yang tahu kwalitas spiritual
manusia tersebut, yang kemudian Ia lah yang menetukan orang tersebut pantas
atau tidak mengemban tugas-tugas Kerasulan.
Wahyu yang paling sempurna tingkat kebenarannya ada pada
Rasulullah. Karena Rasul tersebut telah sampai pada kebenaranNya. Bahkan wahyu
yang sempurna tersebut telah menyatu pada diri Rasul sehingga hal itu
termanifestasi pada tingkah laku dan pola hidup Rasul Tidak sembarang orang
yang tahu akan makna hakiki dari wahyu yang sempurna tersebut. Rasulullah SAW
dapat dikatakan sebagai Al-qur’an dalam wujud manusia. Teks-teks dalam
Al-qur’an tidak sembarang orang dapat mengetahui makna sesunggunya. Hanya
manusia-manusia yang mampu dan memiliki sifat-sifat dan tingkah laku seperti
rasul saja yang dapat memahami makna sesungguhnya.
Al-qur’an merupakan wahyu Allah SWT yang sudah berbentuk
kata-kata. Akan tetapi kata-kata tersebut tidaklah dapat menunjukkan makna yang
sesungguhnya. Realitas sesungguhnya telah tereduksi ketika kita menggunakan
sesuatu kata untuk menunjukkan suatu realitas.. Misalkan kalimat Allah SWT
memiliki Dzat dan Sifat yang Maha Sempurna. Pernyataan Maha Sempurna ini tidak
lah dapat menunjukkan Realitas Allah SWT yang sebenarnya. Akan tetapi bukan
berarti manusia tidak dapat mengetahui makna dari ayat-ayat Al-qur’an tersebut.
Tiap-tiap manusia memiliki tingkat-tingkat pengetahuan yang berbeda-beda.
Sehingga hal ini mengakibatkan manusia memiliki pengetahuan akan ayat-ayat
Allah SWT tersebut dapat berbeda-beda sesuai dengan tingkat pengetahuan yang
dimiliki manusia tersebut.
Yang menjadi masalah sekarang adalah manusia mana yang
pahaman yang mendekati atau sesuai dengan realitasnya/kenyataan (cakupannya).
Manusia yang dapat memahami makna sesungguh (reailtasnya) adalah manusia yang
sudah memiliki hubungan dengan realitas wujud dari dalam diri mereka sendiri.
Mereka tidak akan mungkin melakukan kekeliruan karena mereka sudah berada dalam
konteks realitas.
Manusia-manusia yang dikarenakan kesadaran mereka, berada dalam konteks
alur realitas dan juga dihubungkan dengan asal muasal wujud, adalah bebas dari
kekeliruan.
Misalkan saya akan pergi ke Surakarta, pengetahuan saya akan kota Surakarta
adalah orangnya lembut dan memiliki memiliki bangunan tua. Pahaman saya ini
bisa jadi belum sempurna, karena saya tidak berada pada realitas kota Surakarta
tersebut. Berbeda dengan orang Surakarta, pahamannya akan kota Surakarta
pastilah lebih baik dari saya yang bukan orang Surakarta. Karena orang
Surakarta pastilah memiliki hubungan dan berada dalam realitas kota Surakarta.
Rasulullah SAW merupakan manusia yang sudah memiliki
hubungan dengan seluruh alam semesta ini, begitu juga dengan ayat-ayat Allah
SWT. Untuk itu ia pastilah mengetahui akan makna yang sesungguhnya dari
ayat-ayat Allah SWT tersebut.
Wahyu Allah ini kemudian disampaikan Rasul kepada ummatnya. Ia juga
diperintahkan agar membimbing dan mengantarkan serta memberikan sarana pada
umat untuk melintasi jalan yang menuju pada tujuan yang telah ditetapkan oleh
Allah SWT. Ketika ada manusia yang tidak sampai pada pengetahuan hakiki dari wahyu
Allah tersebut, maka Rasulullah SAW bertugas menerangkan makna dari wahyu
tersebut sesuai dengan tingkat kwalitas pengetahuan manusia tersebut.
Bagaimana ketika Rasulullah SAW wafat, apakah seluruh
umat Islam sudah mengetahui makna sesungguhnya dari wahyu Allah SWT? Dan apakah
ada orang yang mampu memiliki tingkat pengetahuan yang mendekati atau sama
dengan Rasulullah SAW? Dan apakah manusia sudah mengetahui dan memahami apa
yang menjadi tujuannya di dunia ini dan hendak kemanakah tujuan hidupnya tesebut?
Ketika Rasulullah SAW wafat, maka tidaklah mungkin beliau
meninggalkan umatnya tanpa seorang pemimpin, yang mana telah beliau didik untuk
sampai pada pengetahuan akan realitas alam semesta ini, dan juga realitas dari
ayat-ayat Allah SWT. Karena tingkat kwalitas pengetahuan manusia yang
berbeda-beda, juga masih adanya manusia yang belum mengetahui makna dari
ayat-ayat Allah SWT, dan juga masih ada manusia yang belum mengetahui, memahami
tujuan hidupnya, maka Rasulullah SAW atas perintah Allah SWT pastilah memilih
seorang dari ummat Islam untuk menjadi pemimpin.
Pemimpin tersebut harus memiliki tingkat pengetahuan yang
sama dengan Rasulullah SAW, dan juga pemimpin tersebut harus bebas dari segala
bentuk dosa kecil apalagi besar (ma’sum). Akan tetapi ia bukanlah menjadi
seorang nabi, karena tidak ada risalah baru yang disampaikan. Islam telah
menjadi agama yang sempurna, namun masih di butuhkan orang yang dapat menjaga
risalah Islam dan membuat ummat Islam mudah untuk mencapai tujuannya. Tugas
seorang pemimpin ini adalah mengawasi, memimpin, dan memperhatikan ummat Islam.
Terdapat perbedaan antara seorang pemimpin dan nabi. Nabi
itu bertugas sebagai pemandu, pembimbing, serta juga memberikan sarana untuk
melintasi jalan dalam mencapai tujuan. Sedangkan pemimpin adalah orang yang
membuat pengikutnya mudah untuk mencapai tujuan, mengawasi, memimpin, dan
memperhatikan ummat Islam. Ada kalanya
seseorang tersebut menjadi nabi sekaligus pemimpin, seperti yang terjadi pada
diri Rasulullah SAW.
Setelah Rasulullah SAW wafat, panduan dan sarana untuk
ummat Islam dalam mencapai tujuannya haruslah tetap terjaga kesuciannya. Untuk
itu dibutuhkan seorang pemimpin yang diangkat oleh Rasulullah SAW berdasarkan
atas perintah Allah SWT.
Dengan adanya argumentasi ini, maka pemimpin dalam Islam setelah Rasul
wafat haruslah ada. Pemimpin tersebut bukanlah dipilih atas kehendak ummat
Islam, akan tetapi ia harus diangkat oleh Rasulullah SAW atas perintah Allah
SWT. Hal ini dikarenakan, ukuran tingkat atau kualitas pengetahuan serta spiritual
seseorang hanya Allah SWT yang tahu, yang kemudian ini disampaikan kepada
Rasulullah SAW. Untuk menjadi pemimpin, manusia tersebut pastilah harus
melewati proses pendidikan oleh Rasulullah SAW, disamping ia juga memiliki
potensi fitrah yang di berikan oleh Allah SWT. Manusia tersebut adalah Imam Ali
Bin Abi Thalib, yang kemudian diteruskan oleh keturunannya yang memiliki
pengetahuan luas dan suci dari segala dosa.
B.
Syarat-syarat kepemimpinan dalam Islam
Kepemimpinan setelah Rasulullah SAW ini, merupakan
pemimpin yang memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul, terbebas dari
segala bentuk dosa, memiliki pengetahuan yang sesuai dengan realitas, tidak
terjebak dan menjauhi kenikmatan dunia, serta harus memiliki sifat adil.
Pemimpin setelah Rasul harus memiliki kualitas spiritual
yang sama dengan Rasul. Karena pemimpin merupakan patokan atau rujukan umat
Islam dalam beribadah setelah Rasul. Oleh sebab itu ia haruslah mengetahui cita
rasa spritual yang sesuai dengan realitasnya, agar ketika menyampaikan sesuatu
pesan maka ia paham betul akan makna yang sesungguhnya dari realitas (cakupan)
spiritual tersebut. Ketika pemimpin memiliki kualitas spiritual yang sama
dengan rasul maka pastilah ia terbebas dari segala bentuk dosa.
[8]umat manusia
berbeda dalam hal keimanan dan kesadaran mereka akan akibat dari perbuatan
dosa. Semakin kuat iman dan kesadaran mereka akan akibat dosa, semakin kurang
mereka untuk berbuat dosa. Jika derajat keimanan telah mencapai intuitif
(pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses penalaran) dan pandangan bathin,
sehingga manusia mampu menghayati persamaan antara orang melakukan dosa dengan
melemparkan diri dari puncak gunung atau meminum racun, maka kemungkinan
melakukan dosa pada diri yang bersangkutan akan menjadi nol.
Saya memahami apa yang dikatakan Muthahhari derajat
keimanan telah mencapai intuitif dan pandangan bathin ini adalah sebagai telah
merasakan cita rasa realitas spiritual. Dengan adanya kondisi telah merasakan
cita rasa realitas spiritual, maka pastilah Rasulullah SAW dan Imam Ali Bin Abi
Thalib beserta keturunannya tadi terbebas dari segala bentuk dosa. Kondisi ini juga akan
berkonsekuensi pada pengetahuannya yang sesuai dengan realitas dari wujud atau
pun suatu maujud. Ketika pemimpin tersebut mengetahui realitas dari seluruh
alam, maka pastilah ia tahu akan kualitas dari dunia ini yang sering menjebak
manusia.
Kemudian seorang pemimpin haruslah juga memiliki sifat
adil. Rasulullah SAW pernah berkata bahwa, ”Karena keadilanlah, maka seluruh
langit dan bumi ini ada.”
Imam Ali Bin Abi Thalib mendefiniskan keadilan sebagai menempatkan sesuatu
pada tempatnya yang layak. Keadilan bak hukum umum yang dapat diterapkan kepada
manajemen dari semua urusan masyarakat. Keuntungannya bersifat universal dan
serba mencakup. Ia suatu jalan raya yang melayani semua orang dan setiap orang[9]. Penerapan sifat keadilan oleh
seorang pemimpin ini dapat dilihat dari cara ia membagi ruang-ruang ekonomi,
politik, budaya, dsb pada rakyat yang dipimpinnya. Misalkan tidak ada
diskriminasi dengan memberikan hak ekonomi (berdagang) pada yang beragama
Islam, sementara yang beragama kristen tidak diberikan hak ekonomi, karena
alasan agama. Terkecuali memang dalam berdagang orang tersebut melakukan
kecurangan maka ia diberikan hukuman, ini berlaku bagi agama apapun.
Dengan demikian jelas bahwa setelah Rasulullah SAW wafat,
maka ummat Islam sebenarnya memiliki seorang pemimpin, yakni Imam Ali Bin Abi
Thalib. Kemudian dilanjutkan oleh beberapa keturunannya, yang mana akhir dari
kepemimpinan tersebut adalah Imam Mahdi, yang disebut sebagai Imam akhir zaman.
Akan tetapi sekarang ini, Dimanakah Imam Mahdi tersebut?
dan siapakah yang memimpin umat Islam di zaman ini? Untuk menjawab pertanyaan
ini, ada 4 dasar falsafi kepemimpinan kelompok dalam Islam (syi’ah)[10]yaitu: Pertama, Allah
adalah hakim mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya.. Allah adalah Malik
al-Nas, pemegang kedaulatan, pemilik kekuasaan, pemberi hukum. Manusia harus
dipimpin oleh kepemimpinan Ilahiyah. Sistem hidup yang bersumber pada sistem
ini disebut sistem Islam, sedangkan sistem yang tidak bersumber pada
kepemimpinan Ilahiyah disebut kepemimpinan Jahiliyah. Hanya ada dua pilihan
kepemimpinan Allah atau kepemimpinan Thagut. Kedua, kepemimpinan manusia yang mewujudkan hakimiah Allah dibumi
adalah Nubuwwah. Nabi tidak saja menyampaikan Al-qanun Al-Ilahi dalam bentuk
kitabullah, tetapi juga pelaksana qanun itu sendiri. ”Seperangkat hukum saja
tidak cukup untuk memperbaiki masyarakat. Supaya hukum dapat menjamin
kebahagiaan dan kebaikan manusia, diperlukan pelaksana[11] Para Nabi diutus untuk
menegakkan keadilan, menyelamatkan masyarakat manusia dari penindasan. Nabi
telah menegakkan pemerintahan Islam dan Imamah keagamaan sekaligus. Ketiga, garis
Imamah melanjutkan garis Nubuwwah dalam memimpin ummat. Setelah zaman Nabi
berakhir dengan wafatnya Rasulullah SAW, kepemimpinan ummat dilanjutkan oleh
para imam yang diwasiatkan oleh Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya. Setelah lewat
zaman Nabi, maka datanglah zaman Imam. Jumlah Imam ini ada 12 (dua belas),
pertama adalah Imam Ali Bin Abi Thalin, dan yang terakhir adalah Muhammad ibn
Al-Hasan Al Mahdi Al Muntazhar, yang sekarang dalam keadaan gaib. Imam Mahdi
mengalami dua ghaibah, yakni ketika dia bersembunyi didunia fisik, dan
mewakilkan kepemimpinannya kepada Nawab al-Imam (wakil Imam), dan ghaibah
kubra, yaitu setelah Ali Ibn Muhammad wafat, sampai kedatangannya kembali pada
akhir zaman. Pada ghaibah kubra inilah kepemimpinan dilanjutkan oleh para
faqih, hingga akhir zaman tiba.
Keempat, para faqih diberikan beban menjadi khalifah.
Kepemimpinan Islam berdasarkan atas hukum Allah. Oleh karena seorang faqih
haruslah orang yang lebih tahu tentang hukum Illahi.
Jalaluddin Rakhmat dalam buku Yamani yang berjudul,
filsafat Politik Islam, (2003:17) menyebutkan
bahwa secara terperinci seorang faqih harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
a. Faqahah, mencapai derajat mujtahid mutlak yang sanggup melakukan istinbath
hukum dari sumber-sumbernya.
b.
’adalah : memperlihatkan
ketinggian kepribadian, dan bersih dari watak buruk. Hal ini ditunjukkan dengan
sifat istiqamah, al shalah, dan tadayyun.
c.
Kafa’ah : memiliki kemampuan untuk memimpin
ummat, mengetahui ilmu yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat, cerdas,
matang secara kejiwaan dan ruhani.
[12]Selain
persyaratan umum seperti kecerdasan dan kemampuan mengatur (mengorganisasi),
ada dua syarat mendasar lainnya bagi seorang fuqaha yaitu pengetahuan akan
hukum dan keadilan. Seorang fuqaha sebenarnya adalah wujud dari hukum Islam itu
sendiri. Dengan ini
terlihat bahwa seorang fuqaha itu tidaklah boleh untuk berbuat salah. Sebelum
akhir zaman tiba, maka kepemimpinan Islam haruslah di pegang oleh seorang ulama
(faqih) yang memenuhi syarat-syarat. Tidak sembarang manusia dapat menjadi
faqih (ulama). Manusia harus melewati proses-proses pengujian baik secara
intelektual maupun spiritual.
BAB III
PENUTUP
Hukum-hukum
Allah adalah suatu keniscayaan yang mengatur ummat manusia, yang membantu
manusia dalam mencapai realitas kebahagiaan. Hukum-hukum Allah ditegakkan agar
keadilan dan kebenaran dapat terjamah oleh orang-orang yang tertindas dan
terdzalimi.Sekarang ini untuk terjaganya hukum-hukum Illahiah yang mengatur
kehidupan umat manusia dan masyarakat, maka di butuhkan seorang pemimpin yang
memiliki pengetahuan luas tentang hukum Allah dan keadilan, akhlak yang mulia,
matang secara kejiwaan dan ruhani, kemampuan mengatur (mengorganisasi), dan
memiliki pola hidup yang sederhana. Intinya pemimpin haruslah wujud dari hukum
Islam itu.
DAFTAR RUJUKAN
Anas, Andi. 2006. Konsep
Wilayah Al-Faqih menurut Imam Khomeini. Skripsi pada Fakultas
Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama UNISBA
As-Salus. 1997. Imam dan Khilafah
dalam Tinjauan Syar’i.
Jakarta:
Gema Insani Press
Bagir, Haidar dalam Ali Syari’ati. 1989. Ummah dan
Imamah, Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung:
Pustaka Hidayah,
Rakhmat ,Jalaluddin
dalam Yamani.
2003.
Filsafat politik Islam antara Al-Farabi dan Khomeini. Bandung: Mizan
Amini, Ibrahim. 2005. Para
Pemimpin Teladan. Jakarta: Al-hudaMuthahhari, Murtadha. 2002. Manusia dan Alam Semesta, Jakarta : Lentera
Muthahhari, Murtadha. 1991. Falsafah
Kenabian, terj. Ahsin Muhammad. Bandung, Pustaka Hidayah
Imam
Khomeini.
2002.
Sistem Pemerintahan Islam. Jakarta:
Pustaka Zahra
[10] Anas,
Andi. 2006. Konsep
Wilayah Al-Faqih menurut Imam Khomeini. Skripsi pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan
Agama UNISBA