REFLEKSI PERJUANGAN
KAUM SANTRI
oleh Cholil Nafis
pada 8 November 2012 pukul 7:38 ·
Oleh: M. Cholil Nafis, Ph D
Wakil Ketua Lembaga bahtsul Masail PB NU
Kiprah Pesantren
Kata Pesantren berasal dari akar kata santri dengan awalan "Pe" dan akhiran "an" berarti tempat tinggal para santri. Zamakhsyari Dhofier, (Zamakhsari;1983) berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti Guru mengaji. Sedangkan terminologi “santri” sendiri berasal dari ikatan kata “sant” (manusia baik) dan tri (suka menolong) sehingga santri berarti manusia baik yang suka menolong secara kolektif.
Potret Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam komplek Pesantren dimana Kiai bertempat tinggal. Disamping itu juga ada fasilitas ibadah berupa masjid. Dari aspek kepemimpinan Pesantren Kiai memegang kekuasaan yang hampir-hampir mutlak. Pondok, Masjid, santri, Kiai dan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan lima elemen dasar yang dapat menjelaskan secara sederhana apa sesungguhnya hakikat Pesantren.
Mengacu pada hasil pendataan Kementerian Agama RI tahun 1984-1985, Pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 M dengan nama Jan Tampes II di Pamekasan Madura. Nama tersebut sekaligus mengundang tanda tanya tentang dugaan adanya Pesantren Jan Tampes I sebagai Pesantren yang lebih tua lagi.
Menurut Zamakhsyari Dhafier, persoalan historis tentang asal usul Pesantren itu bagaimana pun sulit dilepaskan dari sejarah kedatangan Islam ke Nusantara. Kuat dugaan bahwa Islam mulai diperkenalkan ke kepulauan Nusantara sejak abad ke 7 M oleh para musafir dan pedagang muslim melalui jalur perdagangan. Kemudian sejak abad 11 M, Islam telah mulai masuk ke kota-kota pantai di Nusantara.
Selanjutnya beberapa bukti sejarah juga menunjukkan bahwa Islam secara intensif telah menyebar pada abad ke-13 sampai akhir abad 17. Pada masa itu, berdiri pusat-pusat kekuasaan Islam, seperti di Aceh, Demak, Giri, Ternate, dan Gowa. Dari sinilah Islam tersebar ke seluruh
pelosok nusantara melalui pedagang, wali, ulama, muballigh dengan mendirikan Pesantren, dayah, dan surau. Sejak itu, Islam praktis telah menggantikan dominasi ajaran Hindu. Bahkan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa telah berhasil mengislamkan hampir sebagian
besar masyarakat Jawa.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Bahkan kita bisa mengatakan bahwa Pesantren adalah warisan budaya para pendahulu. Pesantren telah menjadi bagian dari khazanah budaya bangsa yang mengakar dan berkontribusi besar dalam penyiaran Islam dan
pendidikan sejak dahulu kala. Setiap kali kita membicarakan sejarah eksistensi Pondok Pesantren, seringkali diidentikkan dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia.
Pondok Pesantren pada masa penjajahan, mengalami tekanan amat berat. Hal ini terjadi karena Pondok Pesantren memberikan pengajaran kepada para santrinya tentang cinta tanah air (hubbu al wathan min al-iman) serta menanamkan sikap patriotik. Walaupun pada dasarnya hanya merupakan lembaga pendidikan keagamaan, namun lembaga ini mengutamakan pembinaan mental spiritual para santrinya. Inilah yang menjadi kekhawatiran para penjajah.
Seorang tokoh Belanda, Snouck Horgronje, memandang lembaga pendidikan Pondok Pesantren, kelompok Kiai, dan para santri, sesuatu yang amat berbahaya bagi kolonial Belanda. la memahami benar kekuatan spiritual para Kiai dan santri, bersumber dari kitab suci
Alquran yang banyak dipelajari di pesantren-pesantren.
Perjuangan Para Kiai Pesantren
Salah satu peran penting Pesantren dalam sejarah perjalanan bangsa ini adalah keterlibatannya dalam perjuangan melawan penjajah. Ketika Jepang memobilisir tentara PETA (Pembela Tanah Air) guna melawan Belanda, para Kiai dan santri mendirikan tentara Hizbullah.
Menurut Wahjoetomo dalam Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan (Gema Insani Press, 1997), masyarakat Pesantren mengadakan aksi terhadap Belanda dengan tiga macam. Pertama, uzlah (mengasingkan diri). Mereka menyingkir ke desa-desa yang jauh dari jangakauan kolonial. Kemudian mendirikan Peantrena di desa-desa yang jauh dari keramaian dan bebas dari polusi dan kontaminasi budaya hedonisme.
Kedua, bersikap nonkooperatif dan melakukan perlawanan secara diam-diam. Selain mengaji atau menelaah kitab kuning, para Kiai menumbuhkan semangat jihad santri-santrinya untuk membela Islam dan menentang penjajah. Bahkan saat itu para Kiai melarang santrinya untuk memakai pakaian yang menyerupai Barat atau penjajah seperti santri dilarang memakai celana panjang, dasi, sepatu dan sebagainya.
Ketiga, memberontak dan mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Dalam perspektif sejarah, Pesantren sering mengadakan perlawanan secara silih berganti selama berabad-abad, untuk mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Seperti kita kenal nama Pangeran Antasari, Sultan Hasanudin, Sultan Agung, Pattimura dan sebagainya. Beberapa pemberontakan yang dipelopori oleh kaum santri antara lain adalah pemberontakan kaum Padri di Sumatara Barat (1821-1828) yang dipelopori kaum santri di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol; pemberontakan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1828-1830); Pemberontakan Banten yang merupakan respon umat Islam di daerah itu untuk melepaskan diri dari penindasan dalam wujud pemberlakuan tanam paksa pada tahun 1836, 1842, 1849, 1880, dan 1888 yang dikenal dengan pemberontakan petani; dan pemberontakan di Aceh ( 1873-1903) yang dipimpin antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Cik Ditiro yang membuat Belanda kesulitan masuk ke Aceh.
Kepahlawanan para Kiai dan Pesantren terkoordinasi pada peristiwa 10 Nopember 1945 yang diabadikan sebagai Hari Pahlawan. Sebagaimana diceritakan K.H. Saifuddin Zuhri dalam Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (Al-Ma’arif, Bandung 1981), KH Hasyim Asy’ari memanggil Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syamsuri dan para Kiai lainnya lainnya untuk mengumpulkan para Kiai se-Jawa dan Madura atau utusan cabang NU untuk berkumpul di Surabaya, tepatnya di kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) di Jl. Bubutan VI/2. Namun pada 21 Oktober para Kiai baru dapat berkumpul semua. Setelah semua Kiai berkumpul, segera diadakan rapat darurat yang dipimpin oleh Kiai Wahab Chasbullah. Pada 23 Oktober Mbah Hasyim atas nama Rais Akbar (Pengurus Besar) organisasi NU mendeklarasikan sebuah seruan Jihad fi Sabilillah (berjuang di jalan Allah) yang belakangan terkenal dengan istilah Resolusi Jihad.
Resolusi Jihad menegaskan tiga hal. Pertama, setiap muslim - tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada (mati syahid). Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya qashar shalat). Di luar radius itu dianggap fardu kifayah (kewajiban kolektif).
Para Kiai dan santrinya kemudian banyak yang bergabung ke pasukan nonreguler Sabilillah dan Hizbullah yang terbentuk sebagai respon langsung atas Resolusi Jihad tersebut. Kelompok ini kemudian banyak berperan penting dalam peristiwa 10 Nopember 1945. Komandan tertinggi Sabilillah adalah K.H. Masykur dan Komandan Tertinggi Hizbullah adalah Zainul Arifin. Diperkuat juga oleh Barisan Mujahidin yang dipimpinan oleh Kiai Wahab Hasbullah.
Seruan jihad itu berhasil menggugah dan membangkitkan semangat juang kaum santri. Ribuan Kiai dan santri dari berbagai daerah mengalir ke Surabaya. Perang yang menewaskan Jenderal Mallaby itu dikenang sebagai salah satu momentum dari perjuangan kaum santri melawan penjajah.
Kini eksistensi keindonesiaan sedang menghadapi gerusan serius berupa disintegrasi, radikalisme-destruktif dan ahistoris-anti nasionalisme. Karenanya, Pesantren dengan Santri dan Kiai sebagai penyangga Islam nusantara mestinya dapat berperan maksimal untuk turut membantu penyelesaian berbagai masalah kebangsaan menuju Indonesia yang satu dan damai.
Wakil Ketua Lembaga bahtsul Masail PB NU
Kiprah Pesantren
Kata Pesantren berasal dari akar kata santri dengan awalan "Pe" dan akhiran "an" berarti tempat tinggal para santri. Zamakhsyari Dhofier, (Zamakhsari;1983) berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti Guru mengaji. Sedangkan terminologi “santri” sendiri berasal dari ikatan kata “sant” (manusia baik) dan tri (suka menolong) sehingga santri berarti manusia baik yang suka menolong secara kolektif.
Potret Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam komplek Pesantren dimana Kiai bertempat tinggal. Disamping itu juga ada fasilitas ibadah berupa masjid. Dari aspek kepemimpinan Pesantren Kiai memegang kekuasaan yang hampir-hampir mutlak. Pondok, Masjid, santri, Kiai dan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan lima elemen dasar yang dapat menjelaskan secara sederhana apa sesungguhnya hakikat Pesantren.
Mengacu pada hasil pendataan Kementerian Agama RI tahun 1984-1985, Pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 M dengan nama Jan Tampes II di Pamekasan Madura. Nama tersebut sekaligus mengundang tanda tanya tentang dugaan adanya Pesantren Jan Tampes I sebagai Pesantren yang lebih tua lagi.
Menurut Zamakhsyari Dhafier, persoalan historis tentang asal usul Pesantren itu bagaimana pun sulit dilepaskan dari sejarah kedatangan Islam ke Nusantara. Kuat dugaan bahwa Islam mulai diperkenalkan ke kepulauan Nusantara sejak abad ke 7 M oleh para musafir dan pedagang muslim melalui jalur perdagangan. Kemudian sejak abad 11 M, Islam telah mulai masuk ke kota-kota pantai di Nusantara.
Selanjutnya beberapa bukti sejarah juga menunjukkan bahwa Islam secara intensif telah menyebar pada abad ke-13 sampai akhir abad 17. Pada masa itu, berdiri pusat-pusat kekuasaan Islam, seperti di Aceh, Demak, Giri, Ternate, dan Gowa. Dari sinilah Islam tersebar ke seluruh
pelosok nusantara melalui pedagang, wali, ulama, muballigh dengan mendirikan Pesantren, dayah, dan surau. Sejak itu, Islam praktis telah menggantikan dominasi ajaran Hindu. Bahkan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa telah berhasil mengislamkan hampir sebagian
besar masyarakat Jawa.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Bahkan kita bisa mengatakan bahwa Pesantren adalah warisan budaya para pendahulu. Pesantren telah menjadi bagian dari khazanah budaya bangsa yang mengakar dan berkontribusi besar dalam penyiaran Islam dan
pendidikan sejak dahulu kala. Setiap kali kita membicarakan sejarah eksistensi Pondok Pesantren, seringkali diidentikkan dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia.
Pondok Pesantren pada masa penjajahan, mengalami tekanan amat berat. Hal ini terjadi karena Pondok Pesantren memberikan pengajaran kepada para santrinya tentang cinta tanah air (hubbu al wathan min al-iman) serta menanamkan sikap patriotik. Walaupun pada dasarnya hanya merupakan lembaga pendidikan keagamaan, namun lembaga ini mengutamakan pembinaan mental spiritual para santrinya. Inilah yang menjadi kekhawatiran para penjajah.
Seorang tokoh Belanda, Snouck Horgronje, memandang lembaga pendidikan Pondok Pesantren, kelompok Kiai, dan para santri, sesuatu yang amat berbahaya bagi kolonial Belanda. la memahami benar kekuatan spiritual para Kiai dan santri, bersumber dari kitab suci
Alquran yang banyak dipelajari di pesantren-pesantren.
Perjuangan Para Kiai Pesantren
Salah satu peran penting Pesantren dalam sejarah perjalanan bangsa ini adalah keterlibatannya dalam perjuangan melawan penjajah. Ketika Jepang memobilisir tentara PETA (Pembela Tanah Air) guna melawan Belanda, para Kiai dan santri mendirikan tentara Hizbullah.
Menurut Wahjoetomo dalam Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan (Gema Insani Press, 1997), masyarakat Pesantren mengadakan aksi terhadap Belanda dengan tiga macam. Pertama, uzlah (mengasingkan diri). Mereka menyingkir ke desa-desa yang jauh dari jangakauan kolonial. Kemudian mendirikan Peantrena di desa-desa yang jauh dari keramaian dan bebas dari polusi dan kontaminasi budaya hedonisme.
Kedua, bersikap nonkooperatif dan melakukan perlawanan secara diam-diam. Selain mengaji atau menelaah kitab kuning, para Kiai menumbuhkan semangat jihad santri-santrinya untuk membela Islam dan menentang penjajah. Bahkan saat itu para Kiai melarang santrinya untuk memakai pakaian yang menyerupai Barat atau penjajah seperti santri dilarang memakai celana panjang, dasi, sepatu dan sebagainya.
Ketiga, memberontak dan mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Dalam perspektif sejarah, Pesantren sering mengadakan perlawanan secara silih berganti selama berabad-abad, untuk mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Seperti kita kenal nama Pangeran Antasari, Sultan Hasanudin, Sultan Agung, Pattimura dan sebagainya. Beberapa pemberontakan yang dipelopori oleh kaum santri antara lain adalah pemberontakan kaum Padri di Sumatara Barat (1821-1828) yang dipelopori kaum santri di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol; pemberontakan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1828-1830); Pemberontakan Banten yang merupakan respon umat Islam di daerah itu untuk melepaskan diri dari penindasan dalam wujud pemberlakuan tanam paksa pada tahun 1836, 1842, 1849, 1880, dan 1888 yang dikenal dengan pemberontakan petani; dan pemberontakan di Aceh ( 1873-1903) yang dipimpin antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Cik Ditiro yang membuat Belanda kesulitan masuk ke Aceh.
Kepahlawanan para Kiai dan Pesantren terkoordinasi pada peristiwa 10 Nopember 1945 yang diabadikan sebagai Hari Pahlawan. Sebagaimana diceritakan K.H. Saifuddin Zuhri dalam Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (Al-Ma’arif, Bandung 1981), KH Hasyim Asy’ari memanggil Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syamsuri dan para Kiai lainnya lainnya untuk mengumpulkan para Kiai se-Jawa dan Madura atau utusan cabang NU untuk berkumpul di Surabaya, tepatnya di kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) di Jl. Bubutan VI/2. Namun pada 21 Oktober para Kiai baru dapat berkumpul semua. Setelah semua Kiai berkumpul, segera diadakan rapat darurat yang dipimpin oleh Kiai Wahab Chasbullah. Pada 23 Oktober Mbah Hasyim atas nama Rais Akbar (Pengurus Besar) organisasi NU mendeklarasikan sebuah seruan Jihad fi Sabilillah (berjuang di jalan Allah) yang belakangan terkenal dengan istilah Resolusi Jihad.
Resolusi Jihad menegaskan tiga hal. Pertama, setiap muslim - tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada (mati syahid). Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya qashar shalat). Di luar radius itu dianggap fardu kifayah (kewajiban kolektif).
Para Kiai dan santrinya kemudian banyak yang bergabung ke pasukan nonreguler Sabilillah dan Hizbullah yang terbentuk sebagai respon langsung atas Resolusi Jihad tersebut. Kelompok ini kemudian banyak berperan penting dalam peristiwa 10 Nopember 1945. Komandan tertinggi Sabilillah adalah K.H. Masykur dan Komandan Tertinggi Hizbullah adalah Zainul Arifin. Diperkuat juga oleh Barisan Mujahidin yang dipimpinan oleh Kiai Wahab Hasbullah.
Seruan jihad itu berhasil menggugah dan membangkitkan semangat juang kaum santri. Ribuan Kiai dan santri dari berbagai daerah mengalir ke Surabaya. Perang yang menewaskan Jenderal Mallaby itu dikenang sebagai salah satu momentum dari perjuangan kaum santri melawan penjajah.
Kini eksistensi keindonesiaan sedang menghadapi gerusan serius berupa disintegrasi, radikalisme-destruktif dan ahistoris-anti nasionalisme. Karenanya, Pesantren dengan Santri dan Kiai sebagai penyangga Islam nusantara mestinya dapat berperan maksimal untuk turut membantu penyelesaian berbagai masalah kebangsaan menuju Indonesia yang satu dan damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar