Alamat : PP MATHLA'UL FALAH Jl. Jaro Salim No.415 Sindang Anom Sekampung Udik Lampung Timur Hp.081369704578

Kamis, 01 November 2012

Pengertian Ta'arud dalam usul figh

-->
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Ta’arud adalah dua nash yang bertentangan yang wajib mengadakan penelitian dan ijtihad untuk mengumpulkan dan mengkompromikan kedua nash itu dengan cara yang benar. penelitian melahirkan keutamaan salah satunya dari yang lain, maka dilaksanakanlah apa yang dikendaki dalil yang lebih kuat atau utama.
Diantara cara-cara menyatakan dan mengkompromikan ialah mentakwilkan salah satu diantara dua nash itu. Artinya dipalingkan dari lahirnya, dengan demikian nash itu tidak akan kontradiksi dengan yang lain. Dan menemukan adanya dua dalil yang kontradiksi dan diperhatikan
untuk mengutamakan salah satunya dari yang lain dengan cara ditarjih (dikuatkan).Apabila cara tarjih juga tidak bias ditempuh, maka salah satuh dalil tersebut di-nash (dibatalkan).
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan ta’arud?
2.      Apa yang dimaksud dengan naskh?
3.      Apa saja rukun dan syarat-syarat naskh?
4.      Apa yang dimaksud dengan tarjih?
C.     Tujuan Masalah
1.      Mengetahui tentang ta’arud.
2.      Mengetahui cara menyelesaikan ta’arud.
3.      Mengetahui perbedaan naskh dengan takhshish.
4.      Mengetahui cara nasikh dan mansukh.
5.      Mengetahui cara pentarjihan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ta’arudh Adillah
Ta’arud dalam arti bahasa adalah pertentangan satu dengan yang lainnya. Sedangkan kata Al-adillah adalah bentuk plural dari kata dalil yang berarti argumen, alasan dan dalil. Sedagkan secara istilah Ta’arudh Adillah adalah perlawanan antara kandungan salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang lain. Perlawanan itu dapat  terjadi antara ayat Al-Qur’an yang satu dengan ayat yang lain, hadits satu dengan hadits yang lain.
Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan Ta’arud secara singkat, yaitu kontradiksi antara dua nash atau dalil yang sama kekuatannya. Kesimpulannya bahwa Ta’arudh itu merupakan pembahasan dari dua dalil yang saling bertentangan[1].
B.     Metode penyelesaian dalil-dalil yang kontraditif
Pengertian dalil yang kontradiktif mencakup dalil yang naqli, yakni dalil yang memang telah termaktup dalam AL-Qur’an atau hadits Nabi secara tekstual, dan yang aqli yaitu dalil dimana rasionalitas menjadi penentunya, seperti Qiyas, bahkan juga mencakup dalil yang Qath’i dan juga Zhanni.
Apabila ada dua nash yang bertentangan, maka wajib mengadakan penelitian dan ijtihad untuk mengumpulkan dan mengompromikan kedua nash itu dengan cara yang benar. Jika tidak mugkin, wajib meneliti dan ijtihad untuk mengutamakan salah-satunya dengan cara di antara cara-cara tarjih. Jika ini dan itu tidak mungkin, dan diketahui sejarah datangnya dua nash itu, maka yang datang kemudian adalah sebagai penghapus terhadap yang lebih dulu, dan jika tidak diketahui sejarah kedatangannya, maka ditangguhkan pengamalan dua nash itu.[2]
Apabila dua Qiyas atau dua dalil yang bukan termasuk nash bertentangan, dan tidak mungkin mengutamakan salah satunya, maka dihindarilah mengambil kedua qiyas atau kedua dalil itu. Kontradiktif diantara dua hal, artinya menurut bahasa arab, ialah kontradiksi salah-satu diantaranya kepada yang lain. Dan kontradiksi antara dua dalil syara’. Artinya menurut istilah ulama ushul ialah penentuan dari salah satunya dalam satu waktu terhadap suatu peristiwa, atas hukum yang bertentangan dengan hukum yang ditentukan oleh dalil lain mengenai peristiwa itu.
Dari kaidah diatas dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan serta cara-caranya sebagai berikut: a.  Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi b.Mengamalkan satu diantara dua dalil yang kontradiksi c. Meninggalkan dua dalil yang kontradiksi[3]
Adapun pembahasan diatas adalah:
1.   Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (Al-jam’u wa al-taufiq)
Pembahasan ini dapat ditempuh dengan cara taufiq (kompromi), maksudnya adalah mempertemukan, mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil tersebut, sehingga tidak terlihat lagi adanya kontradiksi.[4]
Contoh firman Allah SWT:
وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِاًفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَاَشْرًا .....
 [ البقرة : 234 ]
Dan orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari...(QS.2, al-Baqoroh:234)
Nash ini menghendaki keumumannya,yaitu setiap istri yang ditinggal suaminya,iddahnya akan selesai dengan masa empat bulan sepuluh hari. Baik istri itu sedang hamil atau tidak.
Dan firman-nya:
وَاُلَاةُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ..... [ الطلاقه : 4 ]
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya...(QS. 65, ath-Thalaq:4)
Nash ini juga menghendaki keumumannya, yaitu bahwa istri yang sedang hamil, iddahnya akan selesai lantaran melahirkan kandungannya. Baik dia itu karena ditinggalkan mati suaminya atau karena ditalak. Maka istri yang ditnggal mati suaminya dalam keadaan hamil, adalah suatu peristiwa yang dikehendaki nash pertama agar iddahnya selesai dengan menanti empat bulan sepuluh hari, sedangkan nash kedua menghendaki agar iddahnya selesai lantaran melahirkan kandungannya, jadi dua nash itu kontadiksi dalam peristiwa ini.[5]
Kontradiksi antara dua dalil syara’ ini tidak akan terjadi apabila dua dalil itu sama kekuatannya, apabila salah-satu dari kedua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, maka yang diikutui adalah hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lebih kuat, dan diabaikanlah hukum yang kontradiksi dengannya yang dikehendaki oleh dalil lain. Dengan demikian tidak akan terjadi kontradiksi antara nash qoth’i dan nash zhonni, antara nash dan ijma’ atau qiyas, dan antara ijma’ dan qiyas. Kontradiksi itu dapat terjadi antara dua ayat, atau dua hadist yang  mutawatir, atau antara ayat dan hadist mutawattir, atau dua hadist yang tidak mutawatir, dan atau antara dua qiyas.
2.     Mengamalkan satu dalil diantara dua dalil yang berbenturan
Bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat dikompromikan, atau ditaklis, maka kedua  dalil tersebut tidak dapat diamalkan keduanya, dengan demikian hanya satu dalil yang dapat diamalkan:
Contoh:
“Seperti mendahulukan khabar dari Aisyah ra,tentang wajibnya mandi bila terjadi persetubuhan dari pada khabar Abu hurairoh yang mewajibkan mandi hanya apabila keluar mani.
3.         Meninggalkan dua dalil yang berbenturan
Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berbenturan itu tidak mampu diselesaikan dengan dua cara diatas, maka ditempuh dengan cara yang ketiga, yaitu meninggalkan kedua dalil tersebut,sedangkan meninggalkan kedua dalil tersebut ada dua bentuk yaitu:
a.       Tawaquf (menangguhkan) menangguhkan pengalaman dalil tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu diantara keduanya.
b.      Tasaquth (saling berguguran) meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil yang lain untuk diamalkan.
C.     Naskh
1.        Pengertian naskh
Secara etimologi ada dua pengertian naskh. Pertama berarti “pembatalan” dan “penghapusan (peniadaan)”. Sesuatu yang membatalkan, menghapuskan, atau meniadakan disebut dengan naskh, sedangkan sesuatu yang dibatalkan, dihapuskan atau dipindahkan disebut dengan mansukh.
Persoalan naskh merupakan salah satu cara menyelesaikan beberapa dalil yang dianggap bertentangan. Sesuai dengan teori daf’u al-ta’arud, apabila ada dua dalil yang sederajat bertentangan secara zhahir, maka diupayakan perkompromian kedua dalil tersebut. Apabila tidak bias dikompromikan, maka salah satunya di tarjih (dikuatkan). Apabila cara tarjih juga tidak bias ditempuh, maka salah satu dalil tersebut dinaskh (dibatalkan).
2.        Rukun naskh
Rukun naskh dibagi menjadi empat:
a.    ‘Adah al-naskh, yaitu pernyataan yang menunjukkan pembatalan (penghapusan) berlakunya hukum yang telah ada.
b.    Nasikh,yaitu Allah ta’ala, karena dia-lah yang membuat hokum dan Dia pula yang membatalkannya, sesuai dengan kehendaknya. Oleh sebab itu pada hakikatnya nasikh adalah Allah.
c.    Mansukh,yaitu hokum yang dibatalkan, dihapuskan atau dipindahkan.
d.    Mansukh ‘anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.
3.         Hikmah naskh
Pensyari’atan berbagi hukum dalam islam, menurut para ulama’ ushul fiqh, adalah untuk memelihara keselamatan umat manusia, baik didunia maupun diakhir. Disamping itu Allah, sebagai syari’ juga menuntut kepatuhan dan ketulusan para hambanya untuk melaksanakan seluruh perintah dan menjauhi seluruh larangannya.
Dalam kaitan ini, syari’ juga senantiasa memperhatikan kondisi umat manusia serta lingkungan yang mengitariny, sehingga kemaslahatan yang diinginkan syari’ itu bias tercapaidan terjamin. Kemungkinan saja, syari’ mensyari’atkan satu hukum pada suatu saat., namun sesudah ada perubahan situasi, kondisi dan lingkungan,hukum itu tidak sejalan lagi dengan kemaslahatan yang dikehendaki syari’. Dalam hal yang terakhir ini, menurur wahbah al-juhaili, sesuai dengan kehendak syari’ dan tujuan yang ingin dicapai, maka syari’ mengubah hukum tersebut atau menggantinya dengan hukum lain.
4.              Persamaan dan perbedaan naskh dengan takhshish
Persamaan naskh dengan takhshish terletak pada fungsi keduanya, yaitu membatasi kandungan suatu hukum. Keduanya berfungsi sebagai penghususan sebagian kandungan suatu lafal. Hanya saja, takhshish lebih husus dalam membatasi berlakunya hukum yang bersifat umum, sedangkan naskh membatasi berlakunya hukum pada masa tertentu.
Perbedaan keduanya adalah bahwa takhshish merupakan penjelas mengenai kandungan suatu lafal yang umum menjadi hanya terbatas dan berlaku sesuai dengan lafal yang dihususkan saja, sedangkan nash membatalkan seluruh hukum yang dikandung oleh suatu naskh yang sebelumnya telah berlaku.
5.     Pendapat para ulama’ tentang naskh
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa naskh menurut logika boleh saja dan secara syara’ telah terjadi. Kemudian jumhur ulama’ ushul fiqh menyatakan bahwa seluruh umat islam mengetahui dan meyakini bahwa Allah itu berbuat sesuai dengan kehendak-Nya tanpa harus melihat sebab dan tujuan.oleh sebab itu, wajar bila Allah mengganti hukum yang telah Ia tetapkan dengan hukum lain, yang menurut-Nya lebih baik dan sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Jumhur ulama’ juga beralasan dengan kesepakatan para ulama’ dalam menyatakan bahwa syari’at sebelum islam telah dinaskh-kan oleh syari’at islam, sebagaimana naskh itu sendiri telah terjadi dalam beberapa hukum islam.
Akan tetapi, Abu Muslin al-Isfahani, berpendapat bahwa naskh tidak berlaku dalam syari’at islam dan tidak ada bukti yang menunjukkan adanya naskh itu. Menurutnya, apabila hukum-hukum syara’ boleh di naskh kan, maka ini berarti terdapat perbedaan kemaslahatan sesuai dengan pergantian zaman.
6.         Syarat-syarat naskh
Jumhur ulama’ yang berpendapat bahwa adanya naskh dalam al-qur’an mengemukakan syarat-syarat berlakunya naskh. Syarat-syarat itu ada yang disepakati dan ada yang tidak disepakati.
Adapun syarat-syarat yang disepakati adalah:
·         Yang dibatalkan itu adalah hukum syara’
·         Pembatalan itu datangnya dari khithab (tuntutan) syara’
·         Pembatalan hukum itu tidak disebabkan berakhirnya waktu berlaku hukum tersebut sebagaimana yang ditunjukkan khithab itu sendiri
·         Khithab yang me-naskh-kan itu datangnya kemudian dari khithab yang di-naskh-kan.
Adapun syarat-syarat yang tidak disepakati atau diperselisihkan:
·         Hukum itu tidak di-naskh-kan kecuali apabila orang mukallaf telah mempunyai kesepakatan untuk melaksanakannya.
·         Kalangan mu’tazilah dan maturidiyyah mengatakan bahwa disyaratkan terdapat hukum yang dinaskh itu sesuatu yang baik yang pembatalannya dapat diterima akal.
·         Sebagian ulam’ ushul fiqh mensyaratkan bahwa terhadap hukum yang dibatalkan itu harus ada penggantinya.
·         Sebagian ulama’ ushul fiqh dari kalangan hanafiyyah juga mensyaratkan bahwa apabila ada yang di-naskh-kan itu adalah ayat al-qur’an atau sunnah yang muttawatir, maka yang men-naskh-kannya juga harus yang sederajat atau sama kualitasnya.
·         Menurut imam al-syafi’I, al-qur’an tidak boleh di-naskh-kan kecuali dengan al-qur’an dan sunnah rasul tidak boleh di-naskh-kan, kecuali dengan sunnah rasul pula.
·         Sebagian ulama’ ushul fiqh lainnya mengemukakan bahwa bacaan (teks)ayat tidak boleh di-naskh-kan sementara hukumnnya tetap berlaku, karena hukum itu melekat pada teks ayat tersebut.
·         Menurut jumhur ulama’, disyaratkan bahwa yang membatalkan dan dibatalkan itu bukan qiyas (analogi).
·         Jumhur ulama’ juga mensyaratkan, baik yang me-naskh-kan atau yang di-naskh-kan itu bukan ijma’.
·         Apabila yang di-naskh-kan itu adalah hukum yang dikandung oleh mafhum dari satu ayat, maka naskh-nya juga di-naskh-kan, karena mafhum itu terkait dengan naskh.
7.    Macam-macam naskh
a.       Naskh yang tidak ada gantinya
b.      Naskh yang ada penggantinya
c.       Naskh bacaan (teks) dari suatu ayat
d.      Naskh hukum ayat
e.       Naskh hukum dan bacaan (teks) sekaligus
f.       Terjadinya penambahan hukum dari hukum pertama
g.      Terjadinya pengurangan terhadap hukum ibadah tertentu yang disyari’atkan
8.        Cara mengetahui naskh dan mansukh
Para ulama’ ushul fiqh mengemukakan bahwa untuk mengetahui mana yang nasikh dan mana yang mansukh, diperlukan ketelitian dan kehati-hatian seorang mujtahid. Apabila ia secara meyakinkan menemukan dua nash yang bertentangan secara keseluruhan (bukan pertentangan sebagian-sebagian) dan tidak mungkin dikompromikan, maka ia harus meneliti mana nash yang dating lebih dahulu dan mana yang dating kemudian. Nash yang datang kemudian disebut dengan nashikh dan yang dating lebih dahulu disebut dengan mansukh. Untuk melacak urutan datangnya nash itu dapat diketahui melalui:
1.      Penjelasan langsung dari Rasulullah saw.
2.      Dalam salah satu nash yang bertentangan itu ada petunjuk yang menyatakan salah satu nash lebih dahulu datangnya dari yang lain.
3.      Periwayat hadits secara jelas menunjukkan bahwa salah satu hadits yang bertentangan itu lebih dahulu datangnya dari hadits yang lain, seperti ungkapan perawi hadits bahwa hadits ini diungkapkan Rasulullah tahun sekian dan hadits ini pada tahun sekian.[6]
D.    Tarjih                                         
1.      Pengertian tarjih
Secara etimologi,tarjih berarti mengatkan. Konsep tarjih muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil lainnya yang sederajat dan tidak bias diselesaikan dengan cara al-jam’u wa al-taufiq.
Secara terminology, ada dua definisi tarjih yang dikemukakan para ahli ushul fiqh. Yang pertama didefinisikan oleh ulama’ hanafiyyah, dan yang kedua oleh jumhur ulama’.
2.      Cara pen-tarjih-an
Para ulama’ ushul fiqh mengemukakan cukup banyak cara pentarjihan yang bias dilakukan, apabila antara dua dalil, secara zhahir, terdapat pertentangan dan tidak mungkin dilakukan al-jam’u wa al-taufiq atau naskh.
Cara pentarjihan dikelompokkan menjadi dua:
a.    Tarjih bain al-nushush
Untuk mengetahui kuatnya salah satu nash yang saling bertentangan, ada beberapa cara yang dikemukakan para ulama’ ushul fiqh, yaitu:1. Dari segi sanad. 2. Dari segi matan. 3. Dari segi hukum yang dikandung nash. 4. Pentarjihan dengan menggunakan factor (dalil) lain diluar nash.
b.    Tarjih bain al-‘aqyisah
Imam al-syaukani mengemukakan tujuh belas macam pentarjihan dalam persoalan qiyas yang saling bertentangan. Dari ketujuh belas macam tersebut dikelompokkan Wahbah al-juhaili, menjadi empat kelompok: 1. Dari segi hukum asal. 2. Dari segi hukum furu’ (cabang). 4. Pentarhihan qiyas melalui factor  luar.[7]

BAB III
PENUTUP
Tiada gading yang tak retak. Itulah pribahasa yang sering orang ucapkan. Pada dasarnya hidup bersama orang yang banyak akan menimbulkan problematika, tak lain pada rana suatu hukum yang telah Allah berikan. Untuk keluar dari permasalahan tersebut perlu kiranya sebuah permusyawaraha yang bertujuan untuk mencari sebuah pemufakatan yang tentunya sangat berdampak untuk kelanjutan hari berikutnya. Maka dari itu, Taarud Adillah memiliki peluang dan peran untuk hal yang seperti ini, sehingga perlu kiranya kita mengkaji lebih dalam. Untuk itu kami selaku penulis berlapang dada menerima saran dan kritik yang tentunya membangun dan memperbaiki kekurangan dari kami. Kami ucapkan terima kasih.
 DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, Abdul wahhab. 2002. kaidah-kaidah hukum islam, ilmu ushulul fiqh, jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Haroen, H. Nasrun. 1996.  Ushul Fiqh, Jakarta, Logos
http://www.diyya.wardpress.com/ushulfiqh/html

[1] http://www.diyya.wordpress.com/ushulfiqh.html
[2] Khallaf, Abdul Wahab, 2002. Kaidah-kaidah hukum islam ilmu ushulul fiqh, jakarta. PT. Raja Grafindo
[3] http://www.diyya.wordpress.com/ushulfiqh.html
[4] Khallaf, Abdul Wahab, 2002. Kaidah-kaidah hukum islam ilmu ushulul fiqh, jakarta. PT. Raja Grafindo
[5] Khallaf, Abdul Wahab, 2002. Kaidah-kaidah hukum islam ilmu ushulul fiqh, jakarta. PT. Raja Grafindo
[6] Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqh. Jakarta. Logos
[7] Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqh. Jakarta. Logos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar