BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ta’arud adalah dua
nash yang bertentangan yang wajib mengadakan penelitian dan ijtihad untuk
mengumpulkan dan mengkompromikan kedua nash itu dengan cara yang benar.
penelitian melahirkan keutamaan salah satunya dari yang lain, maka
dilaksanakanlah apa yang dikendaki dalil yang lebih kuat atau utama.
Diantara cara-cara
menyatakan dan mengkompromikan ialah mentakwilkan salah satu diantara dua nash
itu. Artinya dipalingkan dari lahirnya, dengan demikian nash itu tidak akan
kontradiksi dengan yang lain. Dan menemukan adanya dua dalil yang kontradiksi
dan diperhatikan
untuk mengutamakan
salah satunya dari yang lain dengan cara ditarjih (dikuatkan).Apabila cara
tarjih juga tidak bias ditempuh, maka salah satuh dalil tersebut di-nash
(dibatalkan).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ta’arud?
2. Apa yang dimaksud dengan naskh?
3. Apa saja rukun dan syarat-syarat naskh?
4. Apa yang dimaksud dengan tarjih?
C.
Tujuan Masalah
1. Mengetahui tentang ta’arud.
2. Mengetahui cara menyelesaikan ta’arud.
3. Mengetahui perbedaan naskh dengan takhshish.
4. Mengetahui cara nasikh dan mansukh.
5. Mengetahui cara pentarjihan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ta’arudh Adillah
Ta’arud dalam arti
bahasa adalah pertentangan satu dengan yang lainnya. Sedangkan kata Al-adillah
adalah bentuk plural dari kata dalil yang berarti argumen, alasan dan dalil.
Sedagkan secara istilah Ta’arudh Adillah adalah perlawanan antara kandungan
salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang lain.
Perlawanan itu dapat terjadi antara ayat Al-Qur’an yang satu dengan ayat
yang lain, hadits satu dengan hadits yang lain.
Abdul Wahab Khalaf
mendefinisikan Ta’arud secara singkat, yaitu kontradiksi antara dua nash atau
dalil yang sama kekuatannya. Kesimpulannya bahwa Ta’arudh itu merupakan
pembahasan dari dua dalil yang saling bertentangan[1].
B.
Metode penyelesaian dalil-dalil yang kontraditif
Pengertian dalil yang
kontradiktif mencakup dalil yang naqli, yakni dalil yang memang telah termaktup
dalam AL-Qur’an atau hadits Nabi secara tekstual, dan yang aqli yaitu dalil
dimana rasionalitas menjadi penentunya, seperti Qiyas, bahkan juga mencakup
dalil yang Qath’i dan juga Zhanni.
Apabila ada dua nash
yang bertentangan, maka wajib mengadakan penelitian dan ijtihad untuk
mengumpulkan dan mengompromikan kedua nash itu dengan cara yang benar. Jika
tidak mugkin, wajib meneliti dan ijtihad untuk mengutamakan salah-satunya
dengan cara di antara cara-cara tarjih. Jika ini dan itu tidak mungkin, dan
diketahui sejarah datangnya dua nash itu, maka yang datang kemudian adalah
sebagai penghapus terhadap yang lebih dulu, dan jika tidak diketahui sejarah
kedatangannya, maka ditangguhkan pengamalan dua nash itu.[2]
Apabila dua Qiyas atau
dua dalil yang bukan termasuk nash bertentangan, dan tidak mungkin mengutamakan
salah satunya, maka dihindarilah mengambil kedua qiyas atau kedua dalil itu.
Kontradiktif diantara dua hal, artinya menurut bahasa arab, ialah kontradiksi
salah-satu diantaranya kepada yang lain. Dan kontradiksi antara dua dalil
syara’. Artinya menurut istilah ulama ushul ialah penentuan dari salah satunya
dalam satu waktu terhadap suatu peristiwa, atas hukum yang bertentangan dengan
hukum yang ditentukan oleh dalil lain mengenai peristiwa itu.
Dari kaidah diatas
dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan serta
cara-caranya sebagai berikut: a. Mengamalkan dua dalil
yang kontradiksi b.Mengamalkan satu
diantara dua dalil yang kontradiksi c. Meninggalkan dua
dalil yang kontradiksi[3]
Adapun pembahasan
diatas adalah:
1.
Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (Al-jam’u wa al-taufiq)
Pembahasan ini dapat
ditempuh dengan cara taufiq (kompromi), maksudnya adalah mempertemukan,
mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan atau menjelaskan
kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil tersebut, sehingga tidak
terlihat lagi adanya kontradiksi.[4]
Contoh firman Allah SWT:
وَالَّذِيْنَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِاًفُسِهِنَّ
اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَاَشْرًا .....
[ البقرة : 234 ]
Dan orang-orang yang meninggal dunia
diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu)
menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari...(QS.2, al-Baqoroh:234)
Nash ini menghendaki
keumumannya,yaitu setiap istri yang ditinggal suaminya,iddahnya akan selesai
dengan masa empat bulan sepuluh hari. Baik istri itu sedang hamil atau tidak.
Dan firman-nya:
وَاُلَاةُ الْاَحْمَالِ
اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ..... [ الطلاقه : 4 ]
Dan perempuan-perempuan yang hamil,
waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya...(QS. 65, ath-Thalaq:4)
Nash ini juga
menghendaki keumumannya, yaitu bahwa istri yang sedang hamil, iddahnya akan
selesai lantaran melahirkan kandungannya. Baik dia itu karena ditinggalkan mati
suaminya atau karena ditalak. Maka istri yang ditnggal mati suaminya dalam
keadaan hamil, adalah suatu peristiwa yang dikehendaki nash pertama agar
iddahnya selesai dengan menanti empat bulan sepuluh hari, sedangkan nash kedua
menghendaki agar iddahnya selesai lantaran melahirkan kandungannya, jadi dua
nash itu kontadiksi dalam peristiwa ini.[5]
Kontradiksi antara dua
dalil syara’ ini tidak akan terjadi apabila dua dalil itu sama kekuatannya,
apabila salah-satu dari kedua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, maka yang
diikutui adalah hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lebih kuat, dan
diabaikanlah hukum yang kontradiksi dengannya yang dikehendaki oleh dalil lain.
Dengan demikian tidak akan terjadi kontradiksi antara nash qoth’i dan nash
zhonni, antara nash dan ijma’ atau qiyas, dan antara ijma’ dan qiyas.
Kontradiksi itu dapat terjadi antara dua ayat, atau dua hadist yang mutawatir,
atau antara ayat dan hadist mutawattir, atau dua hadist yang tidak mutawatir,
dan atau antara dua qiyas.
2.
Mengamalkan satu dalil diantara dua
dalil yang berbenturan
Bila dua dalil yang
berbenturan tidak dapat dikompromikan, atau ditaklis, maka kedua dalil
tersebut tidak dapat diamalkan keduanya, dengan demikian hanya satu dalil yang
dapat diamalkan:
Contoh:
“Seperti mendahulukan khabar dari Aisyah
ra,tentang wajibnya mandi bila terjadi persetubuhan dari pada khabar Abu
hurairoh yang mewajibkan mandi hanya apabila keluar mani.
3.
Meninggalkan dua dalil yang berbenturan
Bila penyelesaian dua
dalil yang dipandang berbenturan itu tidak mampu diselesaikan dengan dua cara
diatas, maka ditempuh dengan cara yang ketiga, yaitu meninggalkan kedua dalil
tersebut,sedangkan meninggalkan kedua dalil tersebut ada dua bentuk yaitu:
a. Tawaquf (menangguhkan) menangguhkan pengalaman dalil tersebut sambil
menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu diantara
keduanya.
b. Tasaquth (saling berguguran) meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari
dalil yang lain untuk diamalkan.
C. Naskh
1.
Pengertian naskh
Secara etimologi ada dua pengertian naskh. Pertama berarti “pembatalan” dan
“penghapusan (peniadaan)”. Sesuatu yang membatalkan, menghapuskan, atau
meniadakan disebut dengan naskh, sedangkan sesuatu yang dibatalkan, dihapuskan
atau dipindahkan disebut dengan mansukh.
Persoalan naskh merupakan salah satu cara menyelesaikan beberapa dalil yang
dianggap bertentangan. Sesuai dengan teori daf’u al-ta’arud, apabila ada
dua dalil yang sederajat bertentangan secara zhahir, maka diupayakan
perkompromian kedua dalil tersebut. Apabila tidak bias dikompromikan, maka
salah satunya di tarjih (dikuatkan). Apabila cara tarjih juga tidak bias
ditempuh, maka salah satu dalil tersebut dinaskh (dibatalkan).
2.
Rukun naskh
Rukun naskh
dibagi menjadi empat:
a.
‘Adah al-naskh, yaitu pernyataan yang menunjukkan
pembatalan (penghapusan) berlakunya hukum yang telah ada.
b.
Nasikh,yaitu Allah
ta’ala, karena dia-lah yang membuat hokum dan Dia pula yang membatalkannya,
sesuai dengan kehendaknya. Oleh sebab itu pada hakikatnya nasikh adalah Allah.
c.
Mansukh,yaitu hokum yang dibatalkan, dihapuskan atau
dipindahkan.
d.
Mansukh ‘anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.
3.
Hikmah naskh
Pensyari’atan berbagi
hukum dalam islam, menurut para ulama’ ushul fiqh, adalah untuk memelihara
keselamatan umat manusia, baik didunia maupun diakhir. Disamping itu Allah, sebagai syari’ juga menuntut
kepatuhan dan ketulusan para hambanya untuk melaksanakan seluruh perintah dan
menjauhi seluruh larangannya.
Dalam kaitan ini,
syari’ juga senantiasa memperhatikan kondisi umat manusia serta lingkungan yang
mengitariny, sehingga kemaslahatan yang diinginkan syari’ itu bias tercapaidan
terjamin. Kemungkinan saja, syari’ mensyari’atkan satu hukum pada suatu saat., namun
sesudah ada perubahan situasi, kondisi dan lingkungan,hukum itu tidak sejalan
lagi dengan kemaslahatan yang dikehendaki syari’. Dalam hal yang terakhir ini,
menurur wahbah al-juhaili, sesuai dengan kehendak syari’ dan tujuan yang ingin
dicapai, maka syari’ mengubah hukum tersebut atau menggantinya dengan hukum
lain.
4.
Persamaan dan perbedaan naskh dengan takhshish
Persamaan naskh dengan takhshish terletak pada fungsi keduanya, yaitu
membatasi kandungan suatu hukum. Keduanya berfungsi sebagai penghususan
sebagian kandungan suatu lafal. Hanya saja, takhshish lebih husus dalam
membatasi berlakunya hukum yang bersifat umum, sedangkan naskh membatasi
berlakunya hukum pada masa tertentu.
Perbedaan keduanya
adalah bahwa takhshish merupakan penjelas mengenai kandungan suatu lafal yang
umum menjadi hanya terbatas dan berlaku sesuai dengan lafal yang dihususkan
saja, sedangkan nash membatalkan seluruh hukum yang dikandung oleh suatu naskh
yang sebelumnya telah berlaku.
5. Pendapat para ulama’ tentang naskh
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa naskh menurut logika boleh saja dan secara
syara’ telah terjadi. Kemudian jumhur ulama’ ushul fiqh menyatakan bahwa
seluruh umat islam mengetahui dan meyakini bahwa Allah itu berbuat sesuai
dengan kehendak-Nya tanpa harus melihat sebab dan tujuan.oleh sebab itu, wajar
bila Allah mengganti hukum yang telah Ia tetapkan dengan hukum lain, yang
menurut-Nya lebih baik dan sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Jumhur ulama’ juga
beralasan dengan kesepakatan para ulama’ dalam menyatakan bahwa syari’at
sebelum islam telah dinaskh-kan oleh syari’at islam, sebagaimana naskh itu
sendiri telah terjadi dalam beberapa hukum islam.
Akan tetapi, Abu
Muslin al-Isfahani, berpendapat bahwa naskh tidak berlaku dalam syari’at islam
dan tidak ada bukti yang menunjukkan adanya naskh itu. Menurutnya, apabila hukum-hukum syara’ boleh di naskh
kan, maka ini berarti terdapat perbedaan kemaslahatan sesuai dengan pergantian
zaman.
6.
Syarat-syarat naskh
Jumhur ulama’ yang
berpendapat bahwa adanya naskh dalam al-qur’an mengemukakan syarat-syarat
berlakunya naskh. Syarat-syarat itu ada yang disepakati dan ada yang tidak disepakati.
Adapun syarat-syarat yang disepakati adalah:
· Yang dibatalkan itu adalah hukum syara’
· Pembatalan itu datangnya dari khithab (tuntutan)
syara’
·
Pembatalan hukum itu tidak disebabkan berakhirnya waktu berlaku hukum
tersebut sebagaimana yang ditunjukkan khithab itu sendiri
· Khithab yang me-naskh-kan itu datangnya kemudian dari
khithab yang di-naskh-kan.
Adapun
syarat-syarat yang tidak disepakati atau diperselisihkan:
·
Hukum itu tidak di-naskh-kan kecuali apabila orang mukallaf telah mempunyai
kesepakatan untuk melaksanakannya.
·
Kalangan mu’tazilah dan maturidiyyah mengatakan bahwa disyaratkan terdapat
hukum yang dinaskh itu sesuatu yang baik yang pembatalannya dapat diterima
akal.
· Sebagian ulam’ ushul fiqh mensyaratkan bahwa terhadap
hukum yang dibatalkan itu harus ada penggantinya.
·
Sebagian ulama’ ushul fiqh dari kalangan hanafiyyah juga mensyaratkan bahwa
apabila ada yang di-naskh-kan itu adalah ayat al-qur’an atau sunnah yang
muttawatir, maka yang men-naskh-kannya juga harus yang sederajat atau sama kualitasnya.
·
Menurut imam al-syafi’I, al-qur’an tidak boleh di-naskh-kan kecuali dengan
al-qur’an dan sunnah rasul tidak boleh di-naskh-kan, kecuali dengan sunnah
rasul pula.
·
Sebagian ulama’ ushul fiqh lainnya mengemukakan bahwa bacaan (teks)ayat
tidak boleh di-naskh-kan sementara hukumnnya tetap berlaku, karena hukum itu
melekat pada teks ayat tersebut.
· Menurut jumhur ulama’, disyaratkan bahwa yang
membatalkan dan dibatalkan itu bukan qiyas (analogi).
· Jumhur ulama’ juga mensyaratkan, baik yang
me-naskh-kan atau yang di-naskh-kan itu bukan ijma’.
·
Apabila yang di-naskh-kan itu adalah hukum yang dikandung oleh mafhum dari
satu ayat, maka naskh-nya juga di-naskh-kan, karena mafhum itu terkait dengan
naskh.
7. Macam-macam
naskh
a. Naskh yang tidak ada gantinya
b. Naskh yang ada penggantinya
c. Naskh bacaan (teks) dari suatu ayat
d. Naskh hukum ayat
e. Naskh hukum dan bacaan (teks) sekaligus
f. Terjadinya penambahan hukum dari hukum pertama
g. Terjadinya pengurangan terhadap hukum ibadah tertentu
yang disyari’atkan
8.
Cara mengetahui naskh dan mansukh
Para ulama’ ushul fiqh mengemukakan bahwa untuk mengetahui mana yang nasikh
dan mana yang mansukh, diperlukan ketelitian dan kehati-hatian seorang
mujtahid. Apabila ia secara meyakinkan menemukan dua nash yang bertentangan
secara keseluruhan (bukan pertentangan sebagian-sebagian) dan tidak mungkin
dikompromikan, maka ia harus meneliti mana nash yang dating lebih dahulu dan
mana yang dating kemudian. Nash yang datang kemudian disebut dengan nashikh dan
yang dating lebih dahulu disebut dengan mansukh. Untuk melacak urutan datangnya
nash itu dapat diketahui melalui:
1. Penjelasan langsung dari Rasulullah saw.
2. Dalam salah satu nash yang bertentangan itu ada
petunjuk yang menyatakan salah satu nash lebih dahulu datangnya dari yang lain.
3. Periwayat hadits secara jelas menunjukkan bahwa salah satu hadits yang
bertentangan itu lebih dahulu datangnya dari hadits yang lain, seperti ungkapan
perawi hadits bahwa hadits ini diungkapkan Rasulullah tahun sekian dan hadits
ini pada tahun sekian.[6]
D.
Tarjih
1. Pengertian tarjih
Secara etimologi,tarjih berarti mengatkan. Konsep tarjih muncul ketika
terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil lainnya
yang sederajat dan tidak bias diselesaikan dengan cara al-jam’u wa al-taufiq.
Secara terminology, ada dua definisi tarjih yang dikemukakan para ahli
ushul fiqh. Yang pertama didefinisikan oleh ulama’ hanafiyyah, dan yang kedua
oleh jumhur ulama’.
2. Cara pen-tarjih-an
Para ulama’ ushul fiqh
mengemukakan cukup banyak cara pentarjihan yang bias dilakukan, apabila antara
dua dalil, secara zhahir, terdapat pertentangan dan tidak mungkin dilakukan
al-jam’u wa al-taufiq atau naskh.
Cara pentarjihan dikelompokkan menjadi dua:
a.
Tarjih bain al-nushush
Untuk mengetahui kuatnya salah satu nash yang saling bertentangan, ada
beberapa cara yang dikemukakan para ulama’ ushul fiqh, yaitu:1. Dari segi
sanad. 2. Dari segi matan. 3. Dari segi hukum yang dikandung nash. 4.
Pentarjihan dengan menggunakan factor (dalil) lain diluar nash.
b.
Tarjih bain al-‘aqyisah
Imam al-syaukani mengemukakan tujuh belas macam pentarjihan dalam persoalan
qiyas yang saling bertentangan. Dari ketujuh belas macam tersebut dikelompokkan
Wahbah al-juhaili, menjadi empat kelompok: 1. Dari segi hukum asal. 2. Dari
segi hukum furu’ (cabang). 4. Pentarhihan qiyas melalui factor luar.[7]
BAB III
PENUTUP
Tiada gading yang tak
retak. Itulah pribahasa yang sering orang ucapkan. Pada dasarnya hidup bersama
orang yang banyak akan menimbulkan problematika, tak lain pada rana suatu hukum
yang telah Allah berikan. Untuk keluar dari permasalahan tersebut perlu kiranya
sebuah permusyawaraha yang bertujuan untuk mencari sebuah pemufakatan yang
tentunya sangat berdampak untuk kelanjutan hari berikutnya. Maka dari itu,
Taarud Adillah memiliki peluang dan peran untuk hal yang seperti ini, sehingga
perlu kiranya kita mengkaji lebih dalam. Untuk itu kami selaku penulis
berlapang dada menerima saran dan kritik yang tentunya membangun dan
memperbaiki kekurangan dari kami. Kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Khallaf, Abdul wahhab.
2002. kaidah-kaidah hukum islam, ilmu ushulul fiqh, jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Haroen, H. Nasrun.
1996. Ushul Fiqh, Jakarta, Logos
[2] Khallaf,
Abdul Wahab, 2002. Kaidah-kaidah hukum islam ilmu ushulul fiqh, jakarta.
PT. Raja Grafindo
[4] Khallaf,
Abdul Wahab, 2002. Kaidah-kaidah hukum islam ilmu ushulul fiqh, jakarta.
PT. Raja Grafindo
[5] Khallaf,
Abdul Wahab, 2002. Kaidah-kaidah hukum islam ilmu ushulul fiqh, jakarta.
PT. Raja Grafindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar