BAB I
PENDAHULUAN
Ketokahan K.
H. Hasyim Asy’ari sering kali diceburkan dalam persoalan sosial politik. Hal
ini dapat dipahami bahwa sebagian dari sejarah kehidupan K. H. Hasyim Asy’ari
juga dihabiskan untuk merebut kedaulatan bangsa Indonesia melawan hegemoni
kolonial Belanda dan Jepang. Lebih-lebih organisasi yang didirikannya, Nahdatul
Ulama, pada masa itu cukup aktif melakukan usaha-usaha sosial politik.
Akan tetapi,
K. H. Hasyim Asy’ari sejatinya merupakan tokoh yang piawai dalam gerakan dan
pemikiran kependidikan. Sebagaimana dapat disaksikan, bahwa K. H. Hasyim
Asy’ari mau tiak mau bisa dikategorikan sebagai generasi awal yang
mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama di Jawa.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi K. H. Hasyim Asy’ari
Nama lengkap
K. H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir
di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon
24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871.[2]
Asal-usul dan
keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari
riwayat kerajaan Majapahit dan
kerajaan Islam Demak. Salasilah
keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan
bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI.
Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari
perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).[3]
Menurut penuturan ibunya, tanda
kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam
kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan,
ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam
kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur
belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih
sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti
(badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua
dari umurnya sendiri.[4]
Bakat
kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain
dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika
melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat
temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi
sesama.[5]
Semasa
hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan
di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia
menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang
meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan
Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan
studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren
tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim
Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya
dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari
melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Ya’kub tersebut.
Setelah
nikah, K. H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya segera melakukan ibadah haji.
Sekembalinya dari tanah suci, mertua K. H. Hasyim Asy’ari menganjurkannya
menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat
itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di
Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim Asy’ari mempelajari
berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh Syafi’iyah dan ilmu
Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim.
Disaat K. H.
Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di
Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama
sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak
mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu.
K. H. Hasyim Asy’ari
semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid
Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid
Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi.
Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.
Ia tinggal di
Mekkah selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari
pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang
dalam waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa.[6]
Tanggal 31
Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari
mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun
berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin
besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan
dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
K. H. Hasyim
Asy’ari dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa
pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena
dianggap menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak
terbukti, ia dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan
melawan penjajah Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan
kemerdekaan nasional oleh Presiden RI.
Pada tahun
1926 K. H. Hasyim Asy’ari mendirikan partai Nahdatul Ulama (NU). Sejak
didirikan sampai tahun 1947 Rais ‘Am (ketua umum) dijabat oleh K. H. Hasyim
Asy’ari. Ia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama pada zaman
pendudukan Jepang untuk wilayah Jawa dan Madura.
K. H. Hasyim
Asy’ari wafat pada tahun 1947 di Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh
waktunya diabdikan untuk kepentingan agama dan pendidikan.[7]
B. Gagasan dan Pembaharuan K. H. Hasyim Asy’ari
1. Gagasan dan Pembaharuan K. H. Hasyim
Asy’ari tentang Pendidikan
Tepat pada
tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari
mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan
keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun
kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal.[8]
Menurut Abu
Bakar Aceh yang dikutip oleh editor buku Rais ‘Am Nahdlatul Ulama hal.153 bahwa
KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan sistem pengajaran di pesantren diganti dari
sistem bandongan menjadi sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk
mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri. Namun hal itu ditolak oleh
ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan menimbulkan konflik di kalangan kiai
senior.
Pada tahun
1916 – 1934 Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran berjenjang. Ada tujuh
jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua tingkatan. Tahun pertama dan
kedua dinamakan siffir awal dan siffir tsani yaitu masa persiapan untuk memasuki
masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awal dan siffir tsani itu
diajarka bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu
pengetahuan Islam.
Kurikulum
madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu),
matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah lagi dengan mata pelajaran
bahasa Belanda dan sejarah.
Kiai Hasyim
terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan secara ketat terhadap
sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar
dalam hadis dan ia sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi
ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran
ajaran Islam.
Menurut
hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan
al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat.[9]
Sebagaimana
diketahui dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di Jawa,
peranan kiai Hasyim yang kemudian terkenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh
(guru besar di lingkungan pesantren), sangat besar dalam pembentukan
kader-kader ulama pimpinan pesantren. Banyak pesantren besar yang terkenal,
terutama, yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para
kiai hasil didikan kiai Hasyim.[10]
Beliau
menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu
dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk
kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam
menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam
menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan
melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu
hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata.
Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh
pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi
siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan
lurus”[11].
Salah satu
karya monumental K. H. Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah
kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allum wa ma Yataqaff Al-Mu’allimin fi
Maqamat Ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1415 H. sebagaimana
umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan
pada masalah pendidikan etika. Meski demikian tidak menafikan beberapa aspek
pendidikan lainnya. Keahliannya dalam bidang hadits ikut pula mewarnai isi
kitab tersebut.[12]
Belajar
menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang
mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya
belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam,
bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu
menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan
akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan
nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan
penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain,
umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.
Catatan yang
menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang
ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika dalam pendidikan, dimana guru harus
membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang
sekali dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil
karangan atau tulisan beliau.
Betapa majunya
pemikiran Hasyim Asy’ari dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan
beberapa tahun sesudahnya. Dan pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali
oleh pemikir pendidik zaman sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan
hendaknya para dosen-dosen di Perguruan Tinggi Islam khususnya agar membiasakan
diri untuk menulis.[13]
Selain
mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum
pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan actual
kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang
dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai
Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi
alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab
Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul
Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar[14].
Menurut
Hasyim Asya’ri ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik
Islam, beberapa hal tersebut adalah adab atau etika bagi alim / para guru.
Paling tidak menurut Hasyim Asy’ari ada dua puluh etika yang harus dipunyai
oleh guru ataupun calon guru yaitu:
Pertama, selalu
berusah mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan apapun, bagaimanapun dan
dimanapun.
Kedua, mempunyai rasa
takut kepada Allah, takut atau khouf dalam keadaan apapun baik dalam gerak,
diam, perkataan maupun dalam perbuatan.
Ketiga, mempunyai
sikap tenang dalam segala hal.Keempat, berhati-hati atau wara dalam
perkataan,maupun dalam perbuatan.
Kelima, tawadhu,
tawadhu adalah dalam pengertian tidak sombong, dapat juga dikatakan rendah
hati.
Keenam, khusyu dalam
segala ibadahnya
Ketujuh, selalu
berpedoman kepada hokum Allah dalam segala hal.
kedelapan, tidak
menggunakan ilmunya hanya untuk tujuan duniawi semata.
kesembilan, tidak
rendah diri dihadapan pemuja dunia
.Kesepuluh, zuhud,
dalam segala hal.
Kesebelas,
menghindarai pekerjaan yang menjatuhkan martabatnya.
Kedua belas,
menghindari tempat –tempat yang dapat menimbulkan maksiat.
ketigabelas, selalu
menghidupkan syiar islam.
Keempat belas,
menegakkan sunnah Rasul.
Kelimabelas, menjaga
hal- hal yang sangat di anjurkan.
Keenam belas, bergaul
dengan sesame manusia secara ramah,
ketujuhbelas,
menyucikan jiwa. Kedelapan belas selalu berusaha mempertajam ilmunya.
Delapan belas,
terbuka untuk umum, baik saran maupun kritik.
Sembilan belas,selalu
mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang tidak diketahuinya.
Duapuluh, meluangkan
waktu untuk menulis atau mengarang buku.
Dengan
memiliki dua puluh etika tersebut diharapkan para guru menjadi pendidikan yang
baik, pendidik yang mampu menjadi teladan anak didik. Di sisi lain, ketika
pendidik mempunyai etika, maka yang terdidik pun akan menjadi anak didik yang
beretika juga, karena keteladanan mempunyai peran penting dalam mendidik akhlak
anak. Untuk itu perlu kiranya para calon pendidik maupun yang telh menjadi
pendidik untuk memiliki etika tersebut.
2. Gagasan dan Pembaharuan K. H. Hasyim
Asy’ari tentang Sosial
Aktivitas K.
H. Hasyim Asy’ari di bidang sosial lainnya adalah mendirikan organisasi
Nahdatul Ulama, bersama dengan ulama besar di Jawa lainnya, seperti Syekh ‘Abd
Al-Wahhab dan Syekh Bishri Syansuri.
Mengenai
orientasi pemahaman dan pemikiran keislaman, kiai Hasyim sangat dipengaruhi
oleh salah seorang guru utamanya: Syekh Mahfuz At-Tarmisi yang banyak menganut
tradisi Syekh Nawawi. Selama belajar di Mekkah, sebenarnya, ia pun mengenal
ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh. Tetapi ia cenderung tidak menyetujui
pikiran-pikiran Abduh, terutama dalam hal kebebasan berpikir dan pengabaian
Mazhab. Menurutnya kembali langsung ke Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa melalui
hasil-hasil Ijtihad para imam mazhab adalah tidak mungkin. Menafsirkan
Al-Qur’an dan Hadits secara langsung, tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama
besar dan imam mazhab, hanya akan menghasilkan pemahaman yang keliru tentang
ajaran Islam. Latar belakang orientasi pemahaman keislaman seperti inilah yang
membuat kiai Hasyim menjadi salah seorang pendiri dan pemimpin utama Nadhatul
Ulama. Tidak kurang dari 21 tahun ia menjadi Rais ‘Am, ketua umum Nadhatul
Ulama (1926-1947).[15]
KH Hasyim
Asy’ari menganjurkan kepada para kiai dan guru-guru agama agar memiliki
perhatian serius kepada masalah ekonomi untuk kemaslahatan; “kenapa tidak
kalian dirikan saja satu badan usaha, yang setiap wilayah ada satu badan usaha
yang mandiri.” Demikian pernyataan KH Hasyim Asy’ari ketika mendeklarasikan
berdirinya Nahdlah at-Tujjar.
Berangkat
dari kesadaran itulah Nahdlah at-Tujjar didirikan, dengan satu badan usaha yang
ketika itu disebut Syirkah al-Inan, yang kemudian hari ketika NU berdiri wadah
ekonomi tersebut berganti nama dengan Syirkah al-Mu’awanah.[16]
Ketika
organisasi sosial keagamaan masyumi dijadikan partai politik pada 1945, Kiai
Hasyim terpilih sebagai ketua umum. Setahun kemudian, 7 September 1947 (1367
H), K. H. Muhammad Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh
wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang
pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama
agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.
Pada tahun
1930 dalam muktamar NU ke-3 kiai Hasyim selaku Rais Akbar menyampaikan
pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU. Pokok-pokok pikiran inilah yang
kemudian dikenal sebagai Qanun Asasi Jamiah NU (undang-undang dasar jamiah NU).[17]
C. Karya K. H. Hasyim Asy’ari
Disamping
aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga penulis yang
produktif. Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi hari, antara pukul
10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar yang biasa
digunakan untuk membaca kitab, menulis, juga menerima tamu.
Karya-karya Kiai Hasyim banyak
yang merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya, ketika
umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim
lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib
min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah,
Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.
Kiai Hasyim
juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul
Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai
Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan
banyak orang, seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum
wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim
juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz,
doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan
keadilan, dan lain-lain.[18]
Sebagai seorang intelektual,
K. H. Hasyim Asy’ari telah menyumbangkan banyak hal yang berharga bagi
pengembangan peradaban, diantaranya adalah sejumlah literatur yang berhasil
ditulisnya. Karya-karya tulis K. H. Hasyim Asy’ari yang terkenal adalah sebagai
berikut: (1) Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin, (2) Ziyadat
Ta’liqat, (3) Al-Tanbihat Al-Wajibat Liman, (4) Al-Risalat
Al-Jami’at, (5) An-Nur Al-Mubin fi Mahabbah Sayyid Al-Mursalin,
(6) Hasyiyah ‘Ala Fath Al-Rahman bi Syarh Risalat Al-Wali Ruslan li Syekh
Al-Isam Zakariya Al-Anshari, (7) Al-Durr Al-Muntatsirah fi Al-Masail
Al-Tis’i Asyrat, (8) Al-Tibyan Al-Nahy’an Muqathi’ah Al-Ikhwan,
(9) Al-Risalat Al-Tauhidiyah, (10) Al-Qalaid fi Bayan
ma Yajib min Al-‘Aqaid.[19]
Kitab ada Al-‘Alim
wa Al-Muta’allimin merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan.
Kitab ini selesai disusun hari Ahad pada tanggal 22 Jumadi Al-Tsani tahun 1343.
K. H. Hasyim Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya
literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan.
Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur sehingga orang yang
mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang luhur pula.
D. Analisis
Mengajar
merupakan profesi yang di tekuni oleh K. H. Hasyim Asy’ari sejak muda. Sejak
masih di pondok pesantren ia sering dipercayakan mengajar santri-santri yang
baru masuk oleh gurunya. Bahkan, ketika di Mekkah ia pun sudah mengajar.
Sepulang dari Mekkah ia membantu ayahnya mengajar di pondok ayahnya, pondok
Nggedang. Kemudian ia mendirikan pondok pesantren sendiri di desa Tebuireng,
Jombang. Hasyim Asy’ari sengaja memilih lokasi yang penduduknya dikenal banyak
penjudi, perampok, dan pemabuk. Mulanya pilihan itu ditentang oleh sahabat dan
sanak keluarganya. Akan tetapi, Hasyim Asy’ari meyakinkan bahwa mereka bahwa
dakwah Islam harus lebih banyak ditujukan kepada masyarakat yang jauh dari
kehidupan beragama. Demikianlah pada tahun 1899 di Tebuireng berdiri sebuah
pondok yang sangat sederhana. Bertahun-tahun kiai Hasyim membina pesantrennya,
menghadapi berbagai rintangan dan hambatan, terutama dari masyarakat
sekelilingnya. Akhirnya, pesantren itu tumbuh dan berkembang dengan pesat.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan kiai Hasyim Asy’ari
dikalangan masyarakat dan organisasi Islam tradisional bukan saja sangat
sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang pemimpin, sebagaimana diketahui
dalam sejarah pendidikan tradisional, khususnya di Jawa. Peranan kiai Hasyim
Asy’ari yang kemudian dikenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru
besar di lingkungan pesantren).
Peranan kiai
Hasyim Asy’ari sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pemimpin
pesantren, terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dalam bidang
organisasi keagamaan, ia pun aktif mengoganisir perjuangan politik melawan
kolonial untuk menggerakkan masa, dalam upaya menentang dominasi politik
Belanda.
Dan pada
tanggal 7 September 1947 (1367 H), K. H. Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat
Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui
sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja
tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.
DAFTAR PUSTAKA
AMujib,
Dkk. Entelektualisme Pesantren, PT. Diva Pustaka. Jakarta. 2004
Dewan
Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam, (. PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve. Jakarta 1997). Cet IV
Drs.
Lathiful Khuliq, MA, Fajar Kebangkitan Ulama, (Yogyakarta : LkiS,2001)
Cet, II
Departemen Agama, Ensiklopedia Islam, (Jakarta
: Departemen Agama), 1993
httpwapedia.mobimsHasyim_Asy%27ari.htm
httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html.
httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm
httplppbi-fiba.blogspot.com200903komparasi-pemikiran-kh-ahmad-dahlan-dan.html
httpriwayat.wordpress.com20080707etika-pendidik-islam-menurut-kh-hasyim-asy%E2%80%99ari.htm
[1] A. Mujib, Dkk.
Entelektualisme Pesantren, (Jakarta : PT. Diva Pustaka. 2004) h. 319
[2] Ibid, h.
319
[3].
httpwapedia.mobimsHasyim_Asy%27ari.htm
[6]
A. Mujib, Dkk, Op Cit.
h. 319-320
[10]
. Ensiklopedia
Islam, Departemen Pendidikan Nasional. (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve.. 2003). h. 309
[11]
httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html
[13]
httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html
[16]
Nuril M Nasir
Alumnus Ma’had al-Islamiyyah as-Salafiyyah asy-Syafi’iyah, Pamekasan, Madura httpopiniindonesia.
comopinip=content&id=155&edx= TWVuZ2dlcmFra2
FuIEVrb25vbWkgV2FyZ2EgTlU=.htm
[17] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia
Islam, (Jakarta :. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
1997). Cet IV h. 102
[18]
httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar