REKAYASA GENETIKA DALAM PANDANGAN USHUL FIQH
(Kontroversi Kloning Terhadap Manusia)
BAB I PENDAHULUAN
Perkembangan IPTEK adalah sebuah
fenomena dan fakta yang jelas dan pasti terjadi sebagai sebuah proses yang
berlangsung secara terus-menerus bagi kehidupan global yang juga tidak mengenal
istilah berhenti, hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Ibnu Khaldun dalam
mukaddimahnya “Tidak ada masyarakat manusia yang tidak berubah” dengan demikian
dalam merespon perkembangan IPTEK, menghentikan jalannya perubahan merupakan
pekerjaan mustahil. Rekayasa genetika khususnya masalah kloning manusia akhir-akhir
ini mengalami perkembangan yang cukup drastis dan meminta perhatian yang cukup
serius dikalangan umat terutama kaum muslim, sebab selain kontribusinya terhadap
ilmu pengetahuan dan memberi manfaat bagi kelangsungan hidup manusia dan
lingkungannya, juga memunculkan persoalan-persoaln mendasar yang perlu
dicermati lebih serius guna mengawal perkembangan bioteknologi di masa mendatang.
Melalui rekayasa genetika dan
produk-produk yang dihasilkannya telah menantang gagasan-gagasan tradisional
mengenai hakekat kehidupan dan memunculkan berbagai persoalan, pertanyaan-pertanyaan
etis, dan tingkat kekhawatiran manusia yang sangat mencemaskan terhadap seluruh
perkembangan dan hasil yang dibawah oleh rekayasa genetika tersebut. Salah satu
dari perkembangan IPTEK dewasa ini adalah Rekayasa genetika dalam berbagai
proses dan produknya yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang cukup
drastis dan meminta perhatian serius.
Seiring dengan hal itu penelitian
genetika kembali maju dengan pesatnya sekitar tahun 1971 sampai 1973, sehingga
dapat disebut revolusi dalam ilmu biologi modern. Suatu metode yang sama sekali
baru di kembangkan. Sehingga memungkinkan eksperimen yang sebelumya tidak
mungkin dilakukan akhirnya dilaksanakan dan gena itu sendiri adalah
suatu partikel yang berada dalam sel.[1]
Kloning merupakan prestasi besar dan
menjadi berita spektakuler sejak kemunculannya pada akhir abad yang lalu
sehingga sampai sekarang menjadi topik yang sangat menarik untuk di bicarakan
dalam tulisan-tulisan maupun pertemuan. Berbagai sudut pandang digunakan untuk melihat
permasalahan kloning.
Dari sudut pandang biologi, medis, hukum
dan moral, ini semua menggambarkan betapa kloning akan memiliki dampak yang
sangat besar bagi masa depan peradaban karena
kemampuan manusia untuk melakukan rekayasa genetika yang radikal terhadap
perjalanan hidup manusia. Melalui rekayasa genetika (kloning manusia) telah memunculkan
berbagai problem, pertanyaan-pertanyaan etis, serta tingkat kekhawatiran
manusia yang sangat mencemaskan terhadap seluruh perkembangannya. Upaya
penerapan kloning pada manusia telah menimbulkan reaksi pro dan kontra dari
berbagai kalangan dan berbagai pandangan yang dikeluarkan sama-sama memiliki
argumen yang cukup kuat.
Sehingga kloning pada manusia benar-benar dalam posisi yang sangat dilematis
dan bagaimanakah Islam menjawab permasalahan ini.
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Sekilas tentang Rekayasa Genetika dan Kloning manusia
Menurut Bakri, H.M. Nurchalis
(1996), Rekayasa genetika adalah istilah dalam ilmu biologi yang artinya secara
umum adalah usaha manusia dalam ilmu biologi dengan cara memanipulasi (rekayasa)
sel, atau gen yang terdapat pada suatu organisme tertentu dengan tujuan
menghasilkan organisme jenis baru yang identik secara genetika. (baca
Genetika).
Dalam hal ini suatu proses perkembangbiakan
yang ditempuh dengan menggunakan peralatan serta prosedur tertentu untuk
menghasilkan suatu produk (keturunan). Istilah tersebut kemudian berkembang dan
memunculkan beberapa
istilah lain dalam ilmu ini seperti transplantsi, kloning,
transgenik dan lain-lainnya, intinya, rekayasa genetika adalah sebuah kegiatan rekayasa
yang dilakukan oleh manusia untuk membuktikan secara ilmiah terhadap hipotesa
yang dibuat terhadap hasil obserfasi dan pengamatan atas fenomena yang
ditemukan.
Dari pengertian tersebut dapat kita
simpulkan, bahwa yang dimaksud dengan rekayasa genetika adalah, proses
perkembangbiakan dengan memanfaatkan bahan-bahan baku yang telah ada untuk menghasilkan
organisme, produk (keturunan) baru melalui cara memanipulasi dengan menggunkan
alat atau prosedur tertentu.
Sementara itu, secara lebih khusus
pengertian kloning adalah: kata kloning berasal dari bahasa inggris “Cloning”
yaitu suatu usaha untuk menciptakan duplikat suatu organisme melalui
aseksual (tanpa hubungan antara laki-laki dan perempuan) atau dengan kata lain membuat
foto copi atau penggandaan dari suatu makhluk melalui cara non seksual.[2]
Pada tahun 1997 seorang ilmuan, Dr.
Ianwilmut dan rekanrekannya
di Institut Roslin yang melakukan penelitian dengan teknik duplikasi
domba dengan cara non seksual yang menghasilkan domba “dolly” itu
merupakan terobosan besar dalam dunia biologi. Dalam kloning terhadap
organisasi tingkat tinggi seperti hewan dan manusia di buat dari sebutir inti
sel dewasa yaitu dari sel-sel kelenjar payudara (sel kambing) dewasa, yang
melalui proses sebagai berikut: Sel diambil dari organ susu, lalu di tempatkan
kedalam cawan petri dengan konsentrasi rendah. Karena mengandung sedikit makanan,
maka setelah beberapakali sel berhenti membelah, dan sel berada dalam keadaan
tertidur, mirip dengan keadaan sewaktu inti sel seperma bergabung dengan inti
sel telur setelah pembuahan
Sebuah sel yang belum di buahi di
ambil dari jenis sel lain inti sel beserta DNA-nya disedot keluar sehingga yang
tersisa hanyalah sebuah sel telur kosong tanpa nekleus namun tanpa
memiliki segala pelengkapan sel telur yang di perlukan untuk menghasilkan
sebuah janin. Sel pertama dalam sel kedua yang telah kosong di dempetkan dengan
pulsa listrik tersebut dikejutkan dan bergabung menjadi satu. Pulsa kedua
diberikan yang bertindak sebagai hentakan energi yang
terjadi dalam pembuahan alam yang memicu terjadinya pembelahan sel.
Enam hari kemudian, emberio dari pembelahan sel itu di tanam kedalam induk
rahim ketiga. setelah masa kehamilan, induk ketiga akhirnya bayi kloning yang
secara identik dengan induk yang menjadi donor DNA[3].
B.
Kloning Manusia Dalam pandangan Ushul Fiqh
Apabila kiat mencermati, awal sampai
akhir proses kloning, tentu hal ini akan menimbulkan problem yang sangat besar
ketika kloning diterapkan pada manusia,walaupun di sisi lain juga ada beberapa
manfaat. Seperti yang kita ketahui manusia sebagai makhluk biologis maka
laki-laki memerlukan perempuan ataupun sebaliknya.
Disamping itu proses perkembangan
manusia pertama-tama diatur perkawinan
yang sah menurut Islam. Dan perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami isteri berdasarkan hukum (UU), hukum
agama atau adat istiadat yang berlaku
seperti firman Allah dalam al-Qur’an.
Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat akan kebesaran Allah SWT .
Menikah mempunyai dua aspek, pertama
yaitu aspek biologis agar manusia berketurunan dan yang kedua aspek afeksional
agar manusia merasa tenang mampu melayani adalah bagi mereka yang benar
terang hatiya dan cemerlang fikirannya[4].
Dan bila seorang ingin mendapatkan
keturunan, maka ia harus kawin dan menikah lebih dahulu. Dan mengenai
perkawinan itu sendiri dijelaskan oleh Allah
dalam al-Qur’an.
Dan kawinilah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayanya yang lelaki dan
hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi maha[5].5
Dalam kehidupan ini seseorang dapat
memperoleh keturunan dari hubungan laki-laki dan perempuan yang telah diatur oleh
hukum Allah yaitu adanya akad perkawinan yang mana di harapkan dapat menghasilkan
keturunan yang baik dan mempunyai nasab dan
diterima secara baik di masyarakat. Namun akan berbeda ketika kloning
manusia benar-benar di lakukan. Kita tidak akan lagi
mengenal hubungan semacam itu karena seseorang dapat memiliki anak
sesuai dengan keinginannya tanpa melakukan hubungan dengan seorang laki-laki.
Dalam Islam kloning dapat
menimbulkan akibat yang fatal apabila hal ini dilakukan terhadap manusia yaitu
mulai dari perkawinan, nasab dan pembagian warisan dan tentu hal ini akan keluar
dari jalur Islam.[6]
Misalnya seorang laki-laki yang
menikah dengan perempuan yang keduanya masing-masing mempunyai kekembaran
identik, tentu hal ini akan dapat membuat bingung mereka semuanya, dan bila hal
ini sudah terjadi ditengah masyarakat, pasti orang akan mengalami kesulitan
mengenali apakah orang itu
bersama-sama dengan isterinya atau dengan kembaranya atau dengan sebaliknya
tidaklah mustahil apabila semisal masalah ini benar-benar terjadi, dekadensi
moral dan kehancuran dunia akan terwujud selain itu sederetan masalah
kewarisan, perwalian, dan lain-lainnya akan menunggu di depan.[7]
Seperti dalam bahasa kaidah fiqh dinyatakan : “Menghindari
madhlarat (bahaya) harus di dahulukan atas mencari kebaikan atau
maslahah”.
Kaidah ini menjelaskan bahwa suatu perkara yang terlihat adanya
manfaat atau maslahah, namun disana juga terdapat kemafsadat- an (kerusakan)
haruslah didahulukan menghilangkan mafsadah-nya. Sebab ke-mafsadahanya
dapat meluas dan menjalar kemana-mana sehingga akan mengakibatkan kerusakan
yang lebih
besar.[8]
Kaidah fiqhiyah itu dapat kita
kembalikan pada firman Allah SWT :
Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi, katakanlah pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat yang sedikit bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari pada manfaatnya.
Demikian disyariatkan adanya
kesanggupan dalam menjalankan perintah. Sedangkan dalam meninggalkan larangan
itu adalah lebih kuat dari pada tuntutan menjalankan perintah.[9]
Dalam hal penciptaan manusia adalah
melalui beberapa tahapan. Sebagaimana firman Allah dalam Alqur’an Surah al-Hajj
yang berbunyi:
…Kami telah menjadikan kamu dari tanah,kemudian dari setetes
mani,kemudian dari segumpal darah,kemudian dari segumpal daging yang sempurna
kejadiannya dan yang tidak sempurna,agar kami jelaskan kepda kamu dan kami
tetapkan dalam rahim,apa yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah
ditentukan……..
Dari kutipan ayat diatas, tampak
kiranya bahwa paradigma al- Qur’an mengenai penciptaan manusia dan terlihat
pencegahan terhadap tindakan-tindakan manusia yang mengarah terhadap kloning.
Mulai dari awal kehidupan hingga
saat kematian, semuanya adalah tindakan dari Tuhan.Segala bentuk peniruan atas tindakannya
dianggap sebagai perbuatan melampaui batas. Oleh karenanya untuk menyikapi
berbagai macam masalah mengenai kloning manusia, bisa memakai pertimbangan,
sebagai berikut:
1.
Pertimbangan Teologi
Dalam hal ini al-Qur’an megisyaratkan adanya intervensi manusia didalam
proses produksi manusia.Sebagaimana termaktub dalam firmanNya Q.S.al-Mukminun
ayat 13-14 yang berbunyi:
Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan)dalam
tempat yang kokoh (rahim) Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging,dan segumpal daging itu Kami
jadikan tulang-belulang,lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan
daging.KemudianKami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain.Maka maha
sucilah Allah,Pencipta yang paling baik.
Ayat ini mengisyaratkan unsur
manusia ada tiga yaitu; unsur jasad (jasadiyah), unsur nyawa (nafs), dan
Unsur ruh (ruh). Adapun dalam pertimbangan ini manusia mengetahui proses
terjadinya manusia,oleh karenanya untuk mengetahui keafsahan kloning dalam Islam
harus dikaitkan dengan dua pertimbangan selanjutnya, yaitu pertimbangan moral
dan hukum.
2.
Pertimbangan Moral
Dari sudut pertimbangan moral bahwa
berbagai macam riset atau penelitian hendaknya selalu dikaitkan dengan Tuhan,
karena riset dengan tujuan apapun tanpa dikaitkan dengan Tuhan tentu akan menimbulkan
resiko, meskipun manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah, namun dalam
mengekpresikan dan mengaktualisasikankebesaran kreatifitasnya tersebut
seyogyanya tetap mengacu pada pertimbangan moral dalam agama.
3.
Pertimbangan Hukum
Dari beragam pertimbangan mungkin
pertimbangan hukum inilah yang secara tegas memberikan putusan, khususnya dari
para ulama’ fiqh yang akan menolak mengenai praktek kloning manusia selain
memakai dua landasan pertimbangan di atas. Larangan ini muncul karena alasan
adanya kekhawatiran tingginya frekuensi mutasi pada gen produk kloning sehingga
akan menimbulkan efek buruk pada kemudian hari dari segi pembiayaan yang sangat
mahal dan juga dari sudut pandang ushul fiqh bahwa jika sesuatu itu lebih
banyak madharat-nya dari pada manfaatnya maka sesuatu itu perlu ditolak.[10]
Dalam
masalah ini terdapat beberapa pendapat ulama tentang
kloning manusia diantaranya; Muhammad Quraish Shihab mengatakan,
tidak pernah memisahkan ketetapan-ketetapan hukumnya dari moral sehingga dalam
kasus kloning walaupun dalam segi aqidah tidak melanggar wilayah qodrat
Illahi, namun karena dari moral teknologi kloning dapat mengantar kepada
perpecahan manusia karena larangan lahir dari aspek ini.[11].
Paradigma al-Qur’an menolak kloning
seluruh siklus kehidupan mulai dari kehidupan hingga kematian, adalah tindakan
Illahiyah. Manusia adalah agen
yang diberi amanah oleh Tuhan, karena itu penggandaan manusia semata-mata
tak di perlukan (suatu tindakan yang mubadzir).
BAB
III ANALISIS KRITIS
Proses kejadian manusia tanpa proses
pembuahan sperma lakilakiadalah tanda dari kekuasaan Tuhan. Perkembangan ilmu
danteknologi merupakan konskuensi logis dari konsep ilmu dalam al Qur’an yang
mengatakan hakekat ilmu adalah menemukan sesuatu yang baru bagi masyarakat dari
hal yang tidak tahu menjadi tahu seperti dalam firman Allah:
Artinya : Sebagaimana
kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami
kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-kitab dan hikmah
serta mengajarkan kepada kamu apaapa yang belum kamu ketahui.
Seluruh ilmu bisa diterima, namun
harus dilihat manfaat dan madharatnya seperti halnya kloning yang menimbulkan
pro dan kontra. Tim bahsul masa’il Nahdhatul Ulama’ menjawab seputar masalah
kloning gen pada tanaman, hewan dan manusia. Pemanfaatan teknologi pada tanaman
diperbolehkan, karena
hajat manusia untuk kemaslahatannya. Kloning gen pada hewan di perbolehkan
dengan catatan; dengan hewan yang halal di makan, tidak menimbulkan takdzib
(penyiksaan), tidak melakukan penyilangan antar hewan yang haram dengan yang
halal. Adapun kloning pada gen manusia menurut etika dan hukum agama tidak
dibenarkan (haram) serta harus dicegah sedini mungkin.[12]
Hal ini karena akan menimbulkan
masalah baru dan madharat yang
lebih besar, diantaranya; Pertama, tidak mengikuti sunah
Rasul, karena Rasul menganjurkan untuk menikah. Dan barang siapa tidak mengikuti
sunah rasul berarti tidak termasuk golongan Rasulallah. Kedua, tidak
mungikuti ajaran kedokteran Nabi, karena mereka tidak melakukan hubungan
seksual. Ketiga, bagi kaum laki-laki yang tidak beristeri bisa
menimbulkan gangguan yang tidak diharapkan seperti hal syahwatnya menjadi
lemah, menimbulkan kesedihan dan
kemuraman. Gerak tubuhnya menjadi kaku dan bagi kaum wanita badannya
menjadi dingin (frigiditis). Keempat, ada kecenderungan melakukan
onani (masturbasi) atau berzina yang sangat dilarang oleh slam. Kelima,
tidak bisa memanfaatkan kegembiraan dan kelezatan dalam hubungan seksual.[13]
Kloning terhadap manusia banyak
melahirkan persoalan bagi kehidupan manusia, terutama dari sisi etika dan
persoalan keagamaan serta keyakinan, namun di sisi lain adapula beberapa
manfaatnya. Berikut ini beberapa manfaat kloning, khusus dalam bidang medis. Beberapa
diantara keuntungan terapeutik dari teknologi kloning adalah sebagai
berikut:
1.
Kloning
manusia memungkinkan banyak pasangan tidak subur
untuk mendapatkan anak.
2.
Organ
manusia dapat dikloning secara selektif untuk dapat dimanfaatkan sebagai organ
pengganti bagi pemilik sel organ itu sendiri, sehingga dapat meminimalisir
resiko penolakan.
3.
Sel-sel
dapat dikloning dan diregenerasi untuk menggantikan jaringan-jaringan tubuh
yang rusak, contohnya urat saraf serta jaringan otot.
4.
Teknologi
kloninng memungkinkan para ilmuan medis untuk menghidupkan dan mematikan
sel-sel, dengan demikian teknologi dapat digunakan untuk mengatasi kanker.
5.
Teknologi
kloning memungkinkan dilakukannya pengujian dan penyembuhan penyakit-penyakit
keturunan.[14]
Sedang menurut M.Qurash Shihab
seperti yang dikutip dalam alislam
dan iptek, bahwa Islam tidak pernah memisahkan ketetapan ketetapan
hukumnya dari moral. Sehingga dalam kasus kloning, walaupun dalam segi akidah
tidak melanggar ‘Wilayah kodrat Ilahi’, namun karena dari moral
teknologi kloning dapat mengantar kepada pelecehan manusia, maka dilarang lahir
dari aspek ini.
Dengan demikian, perlu disadari
bahwa hal ihwal tentang penciptaan (setiap yang hidup/bernyawa) adalah wilayah
kekuasan tuhan yang sangat mustahil untuk dapat ditiru oleh ilmuan sejenius apapun,
kesadaran ini perlu ada dalam jiwa manusia untuk lebih bijaksana dalam
menjelajahi ilmu pengetahuan, atau paling tidak meminimalisir sikap coba-coba
yang akan menyebabkan organisme dan gen atau bahan-bahan dasar lainnya terbuang
sia-sia atau dimatika
begitu saja dengan unsur kesengajaan yang lebih besar hanya demi tekologi.
Masalah lain yang ditimbulkan oleh
teknologi kloning speriti produk bayi tabung, adalah perebutan bayi. Seperti
contoh kasus yang menimpa pasangan suami isteri yang menitipkan embrionya dalam
rahim mother hoster. Setelah sekitar 36 minggu mengandung dan akhirnya
melahirkan bayi titipan tersebut, si mother hoster mengklaim bayi tersebut
miliknya, dan tidak bersedia mengembalikannya pada ayah dan ibu biologisnya.
BAB
IV PENUTUP
Perkembangan teknologi merupakan
salah satu tanda kebesaran dan kekuasaan Allah SWT yang diberikan kepada
manusia. Meskipun demikian manusia harus berupaya menjaga keseimbangan antara batasan
kemajemukan IPTEK, biologi dan doktrin agama.
Dengan kemajuan IPTEK harus tetap
berpegang pada norma syari’at yaitu lima syari’at yang diistimbatkan dari
ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunah yaitu: Penghormatan terhadap keyakinan yang berkembang
dalam masyarakat (Hifzu al- Din), Penghormatan terhadap eksistensi dan keamanan
perorangan baik diri maupun martabat sebagai manusia (hifzu al-Nafs),
Penghormatan terhadp eksistensi dan kebebasan berfikir yang merupakan produk
akal yang jujur, Penghormatan terhadap sistem keluargaan yang membuahkan ketertiban
silsilah keturunan yang berkembang dalam masyarakat (Hifzu al- Nash),
Penghormatan terhadap kepemilikan kekayaan yang di dapat secara halal (Hifzu
al- Mal)
Lima acuan di atas merupakan
pengawasan terhadap penerapan keilmuan manusia, agar tidak menyimpang dari
norma-norma atau etika yang ada dan moral agama yang memberikan keluasan untuk menetapkan
suatu hukum yang belum di tetapkan secara terang dan jelas dalam agama.
Kloning terhadap manusia,walaupun
merupakan suatu kegiatan ilmiah dan juga dapat dikatakan bisa membantu manusia
namun dari sekian banyak pertentangan pendapat yang muncul atas persoalan tersebut
dapat dipastikan lebih banyak ditekankan pada persoalan yang berhubungan dengan
etika, moral, hukum dan agama.Untuk itu perlu disadari bahwa hal-ihwal
penciptaan manusia adalah mutlak kekuasaan Tuhan yang mustahil kiranya untuk
dapat ditiru oleh ilmuan sehebat atau sejenius apapun, kesadaran ini perlu ada
dalam jiwa manusia agar lebih arif dan bijaksana dalam menjelajahi ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama Republik Indonesia,
Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Semarang: Toha putra, 1990.
Hawari, Dadang, Ilmu Kebudayaan
Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Primayasa,1996.
Kompas, Pandangan Islam Terhadap
Kloning Manusia, Minggu 21 April, 2002.
Ebrahim, Abdul Fadl Mohsin, Cloning,
Eutanasia,Trnfusi darah, Transplantasi organ, dan eksperimen pada hewan, Telaah
dan Biotek Islam, 2004.
Musbikin, Imam, Qowa’id
al-Fiqhiyah, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001.
Musthafa, Aziz dan Imam Musbikin, , Kloning
manusia Abad XXI Antara Harapan, Tantangan dan pertentangan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Masduki, M., Kloning Menurut
Pandangan Islam, Pasuruan: Garoeda,
1997
Munawar, Ahmad Anees, Islam dan
Masa Depan Biologis Umat Manusia, Etika Gender, Teknologi, Bandung: Mizan, 1995
Rainhold, T.A. Browen Van Nastrad
(vk) Pengantar kloning Gena, Yogyakarta: Yayasan Essentia Medika.
Shihab, M. Quraish, Membumikan
Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994 Teknologi Reproduksi Menimbulkan
Paradigma Baru dalam Masyarakat. (http ://www/greenpeace.org/)06/12/2004.
Tim Perumus Fakultas Teknik UMJ,
Jakarta, al-Islam dan IPTEK,
jilid I, Rajawali
Press,jakarta, 1999
[1] 1T.A. Browen Van Nastrad Rainhold (vk), Pengantar Kloning Gena,
(Yogyakarta: Yayasan Essentia Medika) , h. 4
[2] Aziz Musthafa dan Imam Musbikin, Kloning Manusia Abad XXI Antara
Harapan, Tantangan dan pertentangan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 16
[4] Dadang Hawari, Psikiater, Ilmu Kebudayaan Jiwa dan Kesehatan
Jiwa,
(Yogyakarta: PT. Dana Bakti Primayasa, 1996), h. 207
[5] 5Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
(Semarang: Toha putra, 1990), h.549
[6] . 6M. Masduki, op.cit, h. 30
[7] . Aziz mustafa dan Imam Musbikin, op-Cit, h. 101
[8] 8Imam Musbikin, Qowa’id al-Fiqhiyah,, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada,2001), h. 74
.
[10] Kompas, Pandangan Islam Terhadap kloning Manusia, Minggu 21 April,2002,
h. 32
[11]Tim Perumus Fakultas Teknik UMJ Jakarta, al-Islam dan IPTEK,
jilid I,
(Jakarta: Rajawali Press, 1999), h.267
[12] Munawar Ahmad Anees, Islam dan Masa Depan Biologis Umat Manusia,Etika
Gender,Teknologi, (Bandung: Mizan, 1995), h. 30
[13] 13M. Masduki, Op-cit, h. 123-124
[14] Abdul Fadl Mohsin Ebrahim, Cloning, Eutanasia, Tranfusi darah, Transpalasi
organ, dan eksperimen pada hewan,Telaah Fiqh dan Biotek Islam, (Serambi:
2004), h.108
Tidak ada komentar:
Posting Komentar