ditulis
oleh: KH. M. Kholil Bisri
Rembang,
Shofarul Khoir 1414 H.
Dikutip
dari Makalah yang beliau sampaikan di Pondok Pesantren Al-Hamidiyyah Jakarta
Tamhid
"Ta'limul
Muta'alim" adalah kitab kecil –biasanya saya khatamkan dalam enam atau
tujuh hari saja di bulan Romadlon, dengan tempo baca sekitar satu jam setiap
hari– hasil rangkuman Syaikh Az-Zarnuji, yang belum mengenal tradisi pesantren,
tentu melontar kritik tajam terhadapnya. Dianggapnya kitab yang penuh
kontroversi, berisi teror sadis kepada pencari ilmu, tidak masuk akal
pembangkit kultus dan sebagainya, bukan lainnya "Ta'limul Muta'alim"
itu tapi kitab itu masih saja terus dibaca di pesantren salaf manapun.
Sebelum saja
beranjak menguak sedikit isi, seluk beluk dan relevansi kitab TMT, saya ingin
menguak dahulu sebuah rahasia yang biasanya hanya disimpan saja di hati para
kiyai. Yang rahasia itu hakikatnya adalah inti sari dari kitab TMT tersebut. Begini:
Keberhasilan
seseorang mendapat anugerah ilmu nafi’' dan muntafa' bih adalah karena
melibatkan tiga faktor yang sangat dominan, yaitu: Pertama, Fadhol dari Allah,
karena memang diajar oleh-Nya (alladzi 'allama bil qolam. 'Allamal insaana maa lam ya'lam). Untuk memperoleh fadhol ini, orang harus
berdo'a atau dido'akan. Do'a itu harus sungguh-sungguh dan disertai
kesungguhan. Tidak boleh dipanjatkan dengan seenaknya dan mengesankan tidak
begitu membutuhkan wushulnya do'a, dengan cara misalnya, disamping berdo'a
orang juga berbuat maksiat, sama sekali tidak berusaha menghindar dari
keharaman yang dilarang. Fa anna yustajaabuu lah. Kedua, Belajar
sungguh-sungguh, rajin mengaji dan mengkaji, tekun mengulang dan muthola'ah.
Sebuah maqolah yang sering disebut hadits menegaskan "Man tholaba syaian
wajadda wajada wa man qoroal baba wa lajja walaja". Siapa saja yang
mencari sesuatu dan sungguh-sungguh, dia akan mendapatkannya. Dan barang siapa
mengetuk pintu dan dia mengamping, maka dia masuk ke dalam (rumah). Secara
implisit firman Allah yang biasanya untuk mendalili orang muslim yang tidak
perlu ragu terjun dalam perjuangan: "Walladzina jaahaduu fiinaa
lanahdiyannahum subulanaa", mengisyaratkan hal yang demikian itu. Ketiga,
Menyadong pertularan (atau apa namanya) dari guru kalau mengacu sebuah pameo
"atthob'u saroq" tabiat, watak, karakter itu mencuri, maka kedekatan
seseorang dengan orang lain mengakibatkan penularan yang niscaya mengacu sunnah
Allah, dia yang lemah akan tertulari yang lebih kuat. Murid akan tertulari dari
sang guru.
Pada
kenyataannya, seberapa besar nafi' dan muntafa' bihnya ilmu yang diperoleh oleh
tholib tergantung pada seberapa besar kadar ketiga faktor itu diupayakan,
diayahi dan menghasilkan. Ada satu faktor lagi yang oleh TMT diisyaratkan pula
sebagai salah satu sebab seseorang berhasil mendapatkan ilmu dan yang
belakangan ini dilakukan oleh orang tua tholib. Bagi orang tua tholib yang
menyikapi secara santun kepada ahli ilmi, kepada siapa tholib "ngangsu
ilmu", anaknya atau cucunya niscaya akan menjadi orang alim. Memang tidak ada dalil yang mengukuhkan analisis tersebut. Namun secara
empiris bapak saya (almaghfurlah KH. Bisri Musthofa) merasakan itu. Ilmu yang
dimaksud adalah ilmu Allah yang memperolehnya dianjurkan (untuk tidak
mengatakan diharuskan) melalui sanad (sandaran) yang jelas. Baik sya fawiyyan
maupun ijaziyyan. Supaya manfa'at ilmu itu secara ritualistik mendapatkan
legalisasinya. Karena manfa'at adalah asas yang mendasari kesungguhan tholibil
'ilmi.
Tholabu ilmillah, mencari ilmu Allah jelas wajib
hukumnya. Mencari ilmu al-hal wajib (fardhu) 'ain dan selebihnya wajib (fardhu)
kifayah. Dengan demikian mencari ilmu, tholabul ilmi adalah amal ibadah. Dari
pendirian keibadahan tholabil ilmi inilah saya mendekati kitab "Ta'limul
Muta'alim".
Sistimatika Ta'limul Muta'alim
Kitab kecil
yang terdiri dari tiga belas fasal itu, separonya bersifat umum, membicarakan
bagaimana seharusnya orang sebagai makhluk hidup mengarungi kehidupan.
Seperti lazimnya kitab kecil yang berbobot keilmuan, fasal awal mencoba
memberi batasan terhadap apa saja yang berkaitan dengan isi kitab.
Tentang ilmu, keutaman-keutamaannya,
bagian-bagiannya dan cara yang seharusnya untu menghasilkan ilmu itu. Karena
mencari ilmu itu ibadah, niat tholabul ilmi yang faridhotun itu tidak boleh
ditinggalkan. Tentu saja yang dilakukan tholib agar mendapatkan pahala
disamping dimaksudkan pula untuk memicu dan memacu semangat pencarian,
menangkal pembiasaan, menjaga koinsistensi, menuntun keberhasilan dan tujuan
ritualistik yang lain. Dari sinilah seharusnya kandungan kitab TMT didekati
sehingga tuduhan kurang menyenangkan atas TMT dihindari. Melakukan niat
tholabil ilmi ini diurai pada fasal dua, anniyah fi haalit ta'allumi.
Pada fasal
ketiga dikemukakan perlunya selektif dalam memilih ilmu, guru dan teman
bermusyawarah sebelum terjun kedalam kancah ta'allum. Pada fasal
ini muncul keharusan menjaga terus minat ta'allum, konsistensi dan tabah dalam
tekun terhadap ilmu yang dipelajari dan dialami. Karena memang ilmu yang
dipelajari, guru yang mengajar,dan teman yang bersamanya mandalami ilmu itu,
dipilihnya sendiri secara selektif itu tadi.
Fasal
berikutnya yang membuat pakar ilmu masa kini seolah-olah kebakaran jenggot,
adalah tentang kewajiban ta'dhim terhadap ilmu itu sendiri dan ahli ilmu.
Fasal keenam adalah tentang bagaimana seharusnya
mencari ilmu berbuat. Dia harus sungguh-sungguh dan disiplin. Kesungguhannya
itu menopang diatas cita-cita yang luhur. Memulai
(starting) terjun, memperkirakan kemampuan dan tertib belajar sesuai dengan
kondisi diri dan ihwal ilmu yang diterjuni adalah bahasan fasal ketujuh.
Tawakkal,
kapan seyogyanya tholibul ilmi, berusaha menghasilkan, ramah dan setia terhadap
cita-cita, tidak melewatkan waktunya dan istifadah (membuat catatan-catatan
baik dalam tulisan maupun benak), waro' (menjaga makanan dan perbuatan yang
dilarang untuk tidak disantap atau dilakukan), apa saja yang membuat orang
mudah menghafal dan yang mudah membuat orang gampang lupa dan yang terakhir
adalah tentang amalan dan bacaan yang membuat pelakunya tercurahi rizqi Allah. Itu semua adalah pasal kedelapan sampai ketigabelas.
Asas manfaat yang mendasari keibadahan tholabil
'ilmi sebagai pendekatan. Pada awal coret-coret ini, saya mengemukakan bahwa
ilmu nafi' yang muntafa' bih adalah anugerah dari Allah yang "allamal
insaana maa lam ya' lam". Manfaat dan guna yang didapat oleh orang yang
memperoleh keuntungan dari ilmu itu, tidak hanya didunia ini saja, namun juga
akhiratnya. Karena itu untuk menghasilkan ilmu yang bermanfaat, tidak hanya
menghajatkan peranan dari pencari ilmu itu sendiri. Peranan Allah dan peranan perantara
guru dimana orang berhasil mandapatkan ilmu, sama sekali tidak bisa dipisahkan.
Hal-hal (baca: a'mal) yang melibatkan Allah SWT. Demi perkenan-Nya, ridho-Nya,
kita menyebutnya ibadah.
Ibadah sebagaimana amal-amal lain, ada
permulaannya, prosesnya dan akhirnya. Masing-masing menghajatkan pada pemenuhan
aturan main yang telah ditetapkan agar yang dilakukannya tidak sia-sia dan sah
adanya. Apalagi amal ibadah yang bernama tholabil ilmi menempati peringkat
diatas qiyamil lail dan puasa sunnah, mengapa? Ya, karena ilmu itulah yang
mengantar orang terhormat dan mulia disisi Allah oleh karena ketakwaan,
"Inna akromakum 'indallohi atqaakum". Ilmu adalah wasilah untuk takwa
dan takwa adalah wasilah mulia 'indallah. Yang mulia 'indalloh tentu mulia 'nda
siwahu min kholqihi.
Ilmu yang menjadi washilah kepada takwa itulah
yang dapat disebut sebagai ilmu nafi' wa muntafa' bih (ilmu yang bermanfaat). Berangkat dari sini, kiranya tidak
berlebihan manakala kita pertama-tama harus mampu menempatkan kedudukan ilmu sedemikian
rupa, sehingga ghoyatun nafi' dan intifa' dapat dicapai oleh tholib. Dan pada tempatnya pula dia bersikap ta'dhim terhadap apa dan siapa yang
diharapkannya akan memberi manfaat yang sebesar-besarnya kepada dirinya, dunia
dan akhirat. Kendatipun dia secara filsofis terpaksa menentukan klasifikasi
ta'd'him itu. Tergantung pada siapa dia harus berlaku ta'dhim.
Memang pada dasarnya sifat batin adalah sifat
bathini, karenanya tidak transparan. Tampilannya bisa beberapa bentuk sesuai
dangan keadaan. Keadaan mu'adhdhim dan mu'adhdhom itu sendiri, latar belakang
keduanya dan seterusnya.
At-Ta'dhim
Tampilan ta'dhim yang beraneka bentuk itu tentu
saja tidak boleh keluar dari batas —layak— wajar. Karena memang ta'dhim bagi
tholib adalah kewajaran, sesuatu yang layak dilakukan terhadap yang ia merasa
harus menta'dhimkannya. Dan merupakan garapan tholibul ilmi untuk
mengartikulasikannya dalam ia memilih tampilan ta'dhim, dilakukannya dengan
kesungguhan dan sepenuh hati. Tidak kemudian terperangkap kedalam bentuk yang
sering kita dengar dengan sebutan mudahanah atau mujahalah belaka. Lamis dan
menjilat, semu dan tak bermakna.
Untuk itu tholib harus pandai dan cermat
menentukan pilihan ilmu apa yang paling baik yang harus dia cari. Sesuai dengan
minat dan bakatnya. Bahkan ketika bergurupn dia tidak dibenarkan sembarangan
dan asal-asalan. Pilihan ang ditentukan sendiri akan lebih mendorongnya kepada
kesungguhan ta'dhim. Oleh TMT kesungguhan ta'dhimil ilmi dirupakan dengan tidak
menjamah kitab yang berisi kandungan ilmu itu, kecuali dalam keadaan suci dari
hadats. Sebelum dia muthola'ah, mengaji atau mengulang pelajaran, berwudhu
lebih dahulu. Sebab ilmu itu nur dan wudhu mewujudkan nur pada diri. Tidak
menaruh kitab sejajar, apalagi di bawah bokong. Dan seterusnya. Sedang ilmu
yang sebaiknya dipilih oleh tholib secara klasifikasial adalah yang dia
hajatkan mendesak bagi urusan agamanya, yang dibutuhkan untuk menuntun
kebahagiaan masa depan (bahkan depan sekali yaitu ketika kelak harus menghadap
kholiqnya) dan dihajatkan bagi mengatur hidupnya dunia akhirat.
Dalam hal
tholib memilih guru, kalau ada, pilih yang mengumpulkan kealiman yang
kealimannya dimasyhurkan sebagai handal (al a'lam) yang secara khuluqi,
mengatur kehidupan keseharian sedemikian rupa sehingga tidak terkena imbas aib
sosial, menjauhi kedurhakaan dan maksiat serta menjaga muru'ah (al-auro’) dan
yang memiliki nilai lebih dalam kematangan ilmu dan amalnya serta lebih tua
usianya daripada ulama (kiyai) lain (al-asann). Hal ini
barangkali dimaksudkan agar tertancap pada diri tholib kemantapan berguru. Dengan demikian tanpa
ragu-ragu lagi, tholib bersikap ta'dhim kental kepada gurunya itu. Oleh TMT,
dicontohkan dengan tidak ngomong kalau tidak didangu tidak bergeser tempat
duduk sebelum sang guru beranjak dari tempatnya, tidak terlalu dekat dan tidak
pula terlalu jauh dari guru, ketika didangu tidak berulah yang menyebabkan guru
terganggu. Mematuhi segala perintahnya apapun bentuknya. Dan seterusnya.
Ta'dhim ini berlanjut kepada keluarga sang guru. Pendek kata tidak membuat guru
tertekan (diantara tanda kutip) secara moral ta'dhim kepada guru ini, dilakukan
oleh tholib untuk mendapat perkenannya. Bukankah gurupun harus memberi dengan
sifat kasih dan sepenuh hati pula? Bukankah pemberin itu wasilah untuk
mendapatkan dan menghantarkannya kepada "raf'ad darojat"?
Oleh TMT guru disamakan dengan dokter (thobib).
Kalau dia tidak dihormati, dia tidak akan memberi yang terbaik yang sangat
dibutuhkan murid atau pasien itu, meskipun dia (pura-pura) memeriksanya dan
menuliskan resep. Melengkapi hujjah TMT adalah sebuah ungkapan, yaitu: “Maa
washola man washola illa bilhurmati wat ta'dhim, wa maa saqotho man saqotho
illa bitarkilhurmati wat ta'dhim”.
Melakukan pilihan sendiri secara cermat terhadap
ilmu dan guru dimaksudkan agar tholib tidak meninggalkan ilmu dan gurunya itu,
sebelum dia dinyatakan selesai dalam berguru. Sebab meninggalkan ilmu dan guru
sebelum saat dinyatakan selesai adalah desersi dan itu sangat menyakitkan.
Dengan demikian sulit ilmu yang sudah dia kuasai bermanfaat. Memilih rekan
adalah suatu yang tidak boleh di abaikan oleh tholib. Rekan itu harus serasi,
yang mau dan mampu diajak rembugan, musyawarah, berakhlak terpuji. Pendek kata
dia harus serekan yang kebaikaannya bisa kamu curi. Sebab "at thob'u
saroqo", tabiat itu pasti mencuri, punya dampak dan sangat mempengaruhi
perilaku dan penilaian.
Layaqoh Ma'hudah
Untuk
menyikapi ilmu, guru dan rekan yang seperti tersebut diatas, untuk menganggap
sikap ta'dhim ala TMT berlebihan atau tidak, untuk mengatakan sikap-sikap TMT
relevan atau tidak kaitannya dengan sistem pendidikan dewasa ini tergantung
dimana sebenarnya seseorang (sebagai tholib) menempatkan dirinya dalam
kedudukan dan peranan apa, menurut anggapan tholib, guru berpengaruh pada
"pembentukan diri". Seberapa besar guru memberi
manfaat pada kehidupan tholib. Sampai sejauh mana jangkauan tholib mengapa dia
melengkapi diri dengan ilmu itu.
Barangkali
bisa saya katakan bahwa substansi pendidikan (yang bahasa kitabnya at-tarbiyah
dari "madhi" robba yang maknanya " memberangkatkan
pagi-pagi" atau "memperkembangkan sejak mula", sejak ditanam
bagi tanaman dan sejak masa pertumbuhan bagi anak manusia) adalah menggarap
jiwa anak manusia menurut fitrahnya adalalah bersih-bersih bagaikan kertas
putih dia bisa ditulisi, dilukis, dicoret-coret atau diapakan saja bahkan
disobek-sobek. Ditarbiyah dengan demikian bisa diusulkan untuk
berarti: “tughda wa tunsau kama hiya makhluqotun bihi bighoiri taghyiri wa
thawili majraha, dibiarkan berangkat dan beranjak tumbuh sesuai dengan
fitrahnya tanpa harus dibiasakan dari alur yang semestinya dengan menuntun dan
memberi contoh yang diinginkan serta memberi warna yang seindah-indahnya sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki oleh dia yng dididik. Sehingga tertanam pada
dirinya haiah rosikhoh tashduru min halil af 'aal.
Sasaran pendidikan dengan demikian adalah jiwa.
Jiwa lebih peka terhdap rasa yang
jelas tidak nyata. Kebesaran jiwa tidak nyemumuk seperti halnya kecahayaan
ini tidak membinar. Namun kebesaran dan kecahayaan itu dapat dirasakan.
Membentuk kebesaran dan kecahayaan itu bisa efektif bila dengan perangkat
kedekatan rasa pula. Kedekatan rasa yang dijalin antara guru dan tholib dengan
tali Allah dan tali rohmah ini akan menjalin keberhasilan amal tarbiyah.
Tarbiyah yang diarahkan kepada ketaqwaan. Wallahu 'alam.
Kita mengerti sepenuh bahwa: menggarap sesuatu
itu tergantung kepada apa yang digarap. Sepanjang yang digarap tidak berubah,
pola dan format garapan tidak perlu dirubah kefitrahan manusia. Pada dasarnya
tidak pernah dirubah, karena itu relevansi konsep yang telah disepakati sebagai
ideal, efektif dan menjanjikan bagi menggarap jiwa manusia, belum layak
dipersoalkan. Kalaupun dalam kenyataannya terjadi perubahan profil, kemencegan
tampilan dan fariasi lagak gaya akibat pengaruh makanan dan lingkungan, tinggal
menyesuaikan cara penanganan saja.
At- Talkhis Al Mudawwan
- Mencari Ilmu harus dengan niat menghilangkan
kebodohan untuk selanjutnya menggapai ridha Allah.
- 2. Mencari dengan terjun kelubuk pendidikan,
berarti mencurahkan segala yang ada pada diri untuk mendapatkan manfaat
yang sebesar-besarnya.
- Ilmu yang kelak diperoleh harus mejadi wasilah
menuju kepada takwa, yang tentu akan mengangkat derajat mulia disisi
Allah.
- Ilmu adalah cahaya, anugerah dan karunia Allah,
yang untuk mencapainya antara lain lewat perantaraan guru. Kalaupun tanpa
guru yaitu dengan membaca, menurut konsep Al-Qur'an harus dengan atas nama
Allah.
- Ilmu yang membuat orang mulia dan terhormat, dan
mencurahkan manfaat yang sebesar-besarnya itu, sangat pada tempatnya untuk
dita'dhimkan. Adalah terjemahan dari rasa terima kasih yang besar dan
penghargaan yang mendalam.
- Menta'dhimkan guru sebagai rasa terima kasih yang
nota bene ahlul ilmi itu adalah pada tempatnya, sangaat layak dan terpuji.
Dan adalah berarti menta'dhimkan ilmu itu sendiri.
- Menta'dhimkan harus berarti pula tidak membuat
yang bersangkutan merasa tertekan dari arah manapun, langsung atau tidak
langsung.
- Ta'dhim bukanlah ta'abbud. Namun bisa saja laku
ta'dhim karena menjalankan perintah syari'. Menjalankan perintahnya
berarti juga ta'abbud.
- Mencari ilmu dengan konsep TMT membuat tholib
sadar posisi dan ikhlas.
At-Talkhis Al-Mu'abbar
Barangkali
oleh karena Az-Zarnuji melihat kependidikan itu dengan kaca mata keteladanan,
meskipun secara emphiris dapat dibuktikan, maka yang tertuang terkesan
berlebihan. Andaikata saya tidak khawatir disebut sebagai su’ul adab, saya akan
mengatakan bahwa TMT adalah kerangka acuan hasil temuan atau rangkuman
pengalaman ahlil ilmi dan belum disusus seperti layaknya konsep.
Namun secara kualitatif memiliki bobot yang
efektif sebagai pedoman untuk menciptakan dunia pendidikan yang ideal yang
masih sangat mungkin diterapkan kapan saja. Oleh karena itu, saya memberanikan
diri untuk menganggap isi kitab TMT masih sangat relevan untuk diterapkan pada
dunia pendidikan dewasa ini, sepanjang format belum berubah.
Tentang
hubungan pendidik anak didik, guru murid, kiyai santri, pemberi manfaat
penerima manfaat, dan seterusnya, adalah wajar dan memenuhi tuntunan ajaran
serta tuntunan keorangan apabila terjalin tali keeratan yang terbuhul atas
dasar filosofi sadar posisi bagi masing-masing. Dan itu
harus dipertahankan kelanggegnannya agar pengawasan batini dapat dilakukan
terus menerus.
Kelanggengan hubungan antar dua kutub tersebut
hanya dapat dicapai dengan keikhlasan yang putih.
Takhtim
Alur yang
dipilih Az-Zarnuji untuk mengalirkan gagasan beliau, saya kira sudah memenuhi
aspek muthobaqoh tadhomun maupun iltizam. Dan itulah
hasil pendilalahan yang benar dari lafal: at-tarbiyah.
Pada kurun
masa segala aspek tata kehidupan sudah bergeser seperati sekarang ini dan
menjelang berlakunya era indrustrialisasi, saya kira konsep yang ada pada
kandungan TMT, sebaiknya didukung untuk disosialisasikan dan dikembangkan
secara adapatatif. Dengan melibatkan para pakar disiplin ilmu
tertentu dan penambahan tata nilai. Sebab dapat saja saya mengatakan: untuk
membentuk generasi penerus yang terdidik lagi bertakwa kepada Allah SWT. Belum
ada pedoman khususnya selain kitab TA'LIMUL MUTA'ALIM.
.