MAKALAH PEMIKIRAN ABU HASAN AL ASY’ARI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Studi klasik aliran pemikiran awal abad ketiga hijriah teologi Mu’tazilah
telah berhasil mencapai puncak kejayaannya dengan berusaha memperjuangkan
kebebasan berpikir yang rasional, namun pada akhirnya mengalami kemunduran di
ahkir abad ketiga hijriah.
Rasionalitas adalah puncak tertinggi dalam menjustifikasi sesuatu perkara
sehingga kekuatan yang mereka berikan kepada akal mendominasi paradigma
pemikiran kehidupan umat islam ketika itu, sehingga timbul anggapan dikalangan
sebagian umat Islam bahwa mereka lebih mengutamakan rasio dari pada wahyu.
Anggapan ini selanjutnya membawa kepada tuduhan bahwa kaum Mu’tazilah adalah
golongan Islam yang tersesat dan tergelincir dari jalan yang lurus dan benar.[1]
Kondisi tersebut memberi dampak kemunduran Mu’tazilah, apalagi ketika
beberapa anggapan bahwa mu`tazilah telah berlebihan dalam melakukan
pemanfatan kekuatan akal.iklim perubahan pemikiran dikalangan penentang paham
ini pun bermunculan seperti abu Hasan al-Asy`ari. kemudian reaksi al-Ma’mun
yang menimbulkan pro kontra ditubuh istana kekhalifahan, khususnya terhadap
serangan dalam bentuk penyiksaan fisik dalam suasana al-Mihnah
(Inkuisisi). Konsekuensinya, timbul kebencian masyarakat terhadap mereka yang
berkembang menjadi permusuhan.[2]
Pada masa pemerintahan al-Mutawakkil, pengaruh Mu’tazilah dijauhkan dari
pemerintah, sebaliknya dia mendekati lawan-lawan mereka dan membebaskan para
ulama fuqaha dan ulama yang beraliran sunni, serta orang-orang yang menerapkan
metode sunni dalam pengkajian aqidah menggantikan kedudukan mereka. Sebahagian
ulama yang menguasai metode diskusi golongan Mu’tazilah tidak lagi berpegang
kepada pendapat-pendapat mereka, malah berusaha membantah pendapat mereka
dengan bahasa yang tajam.[3]
Kondisi Mu’tazilah menjadi terbalik dan menjadi serba kesulitan. Dengan melemahnya
Mu’tazilah kemudian tradisi diskusi dan berpikir juga mengalami
kemunduran yang berarti
Pada akhir abad ke 3 H, hadirlah dua tokoh penting yang menonjol yaitu Abu
al-Hasan al-Asy’ari di Bashrah yang pada awalnya menganut paham mu`tazilah
namun pada ahkirnya meninggalkan aliran ini dan menyerang keras terhadap paham
tersebut selama kurang lebih seperempat abad dan Abu Manshur al-Maturidi di
Samarkand. Mereka bersatu dalam melakukan bantahan tehadap Mu’tazilah, meskipun
sedikit banyak mereka mempunyai perbedaan.[4]
B. RUMUSAN MASALAH
Dasar pemikiran latar belakang tersebut diatas, maka penulis
menganggap perlu merumuskan masalah dan beberapa sub masalah sebagai
berikut :
1.
Bagaimana
sejarah timbulnya al-Asy’ari ?
2.
Siapa
Abu al-Hasan al-Asy’ari ?
3.
Apa
saja Pokok-pokok ajarannya Abu al-Hasan Asy’ari?
4.
Siapakah
tokoh-tokoh penting Asy’ariyah (al-Baqillani, al-Juwaini, dan al-Gazali)
5.
Bagaimana
Perkembangan aliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah, dan Pengaruhnya di dunia Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH TIMBULNYA ASY’ARIYAH
Dalam sejarah Aliran pemikiran al-Asy’ari awalnya muncul setelah kemunduran
aliran Mu’tazilah. Eksistensi aliran ini mempunyai pengaruh besar tatkala
Mu’tazilah mengalami degradasi yang berarti dengan implikasi mihnah. pergerakan
al-Asy’ari mulai pada abad ke 4 H setelah ia terlibat dalam konflik dengan
kelompok-kelompok lain, khususnya dengan Mu’tazilah. [5]
Aliran teologi tradisional yang disusun oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari ini
merupakan reaksi atas teologi Mu’tazilah yang rasional.[6] Dalam sejarah
diketahui bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan al-Asy’ari memisahkan diri
dari aliran ini ketika terjadi debat argumentasi antara al-Juba’i sang guru
dengan al-Asy’ari muridnya tentang subtansi dasar paham aliran mu’tazilah yang
berujung dengan indikasi kelemahan kelemahan paham mu’tazilah.
Sebagian Isi dari perdebatan-perdebatan tersebut adalah mengenai soal al-
Ashlah (“keharusan mengerjakan yang terbaik bagi Tuhan”). Al-Asy`ari bertanya
bagaimana pendapat tuan tentang orang mukmin, orang kafir dan anak kecil (yang
mati)?. Jawab al-Jubbai; orang Mukmin mendapat tingkatan yang tertinggi
(surga), orang kafir masuk neraka, dan anak kecil tergolong orang selamat.
Al-Asyari bertanya; kalau anak kecil tersebut ingin mencapai tingkatan
tertinggi, dapatkah ia?. Jawab al-Jubbai; tidak dapat karena akan dikatakan
kepadanya: orang mukmin tersebut mendapat tingkatan tertinggi karena dia
menjalankan ketaatan. Sedangkan engkau tidak. Al-Asyari bertanya; anak
kecil akan menjawab: itu bukan salah saya. Kalau sekiranya Tuhan menghidupkan
aku (sampai besar), tentu aku akan mengerjakan segala ketaatan seperti orang
mukmin tersebut. Jawab al-Jubbai; Tuhan akan berkata”.Aku lebih tahu tentang
engkau. Kalau hidup sampai besar, tentu akan mendurhakai Aku dan Aku akan
menyiksa engkau”. Jadi Aku mengambil yang lebih baik (lebih menguntungkan)
bagimu dan Aku matikan engkau sebelum dewasa”. Al-Asyari bertanya; Kalau kafir
tersebut berkata:. Ya Tuhan,
engkau mengetahui keadaanku dan keadaan anak kecil tersebut. Mengapa
terhadap aku Engkau tidak mengambil tindakan yang lebih baik bagiku (lebih
mengutungkan)?. Kemudian diamlah al-jubbai dan tidak dapat menjawab lagi.[7]
Demikianlah rasionalisme mu’tazilah tidak menemukan jawabannya. Dan dengan
pertanyaan tersebut menyebabkan al-Asy’ari meninggalkan mazhab ini.
Abu Bakar Bin Furak mengatakan bahwa Abu Hasan al-Asy’ari meninggalkan
paham Mu’tazilah beralih ke mazhab Ahl Sunnah.[8] Jadi ia menjadi pengikut Hambali Sunni, dimana
pengikut Hambali pada waktu itu sangat sedikit yang mengembangkan pemikiran
teologi
Salah satu riwayat mengatakan bahwa faktor lain, mengapa al-Asy’ari
meninggalkan Mu’tazilah kemudian beralih ke mazhab Ahl Sunnah (Hadits) yakni
sebagaimana dikatakan oleh al-Subki dan Ibn Asakir bahwa pada suatu malam
al-Asy’ari bermimpi, dalam mimpi itu Nabi Muhammad Saw mengatakan kepadanya
bahwa Mazhab Ahl Haditslah yang benar dan Mazhab Mu’tazilah yang salah.[9]
Faktor-faktor tersebut yang membuat al Asy’ari keluar memisahkan diri
dengan Mu’tazilah kemudian beralih ke Mazhab Ahli Sunnah.
Peristiwa itulah menjadi awal mula lahirnya aliran Asy’ariyah, yang selama
40 tahun menjadi pengikut Mu’tazilah dan diperkirakan tahun 300 H, al-Asy’ari
keluar dari golongan tersebut, dan selanjutnya membentuk aliran teologi yang
kemudian dikenal dengan namanya sendiri (al-Asy’ariah).[10]
B. BIOGRAFI IMAM ASY’ARI
Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah orang yang pertama mendirikan aliran
Asy’ariyah. Nama lengkap beliau adalah Ali Bin Ismail Bin Ishak Bin Salim Bin
Ismail Bin Abdullah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Burdah Bin Abu Musa al-Asy’ari.[11]
beliau adalah putra Abu Musa al-Asy’ari, salah seorang sahabat Nabi Saw
yang menjadi mediator dalam sengketa antara Ali dan Mu’awiyah.
Abu al-Hasan al-Asy’ari lahir di Bashrah (Irak) pada tahun 260 H (873 M)
dan wafat di Baqdad pada tahun 324 H (935 M).[12] sejak kecil ia berguru
kepada seorang pengikut aliran Mu’tazilah terkenal yaitu al-Jub’ai, mempelajari
ajaran-ajaran Mu’tazilah dan mendalaminya terus sampai usia 40 tahun.
Setelah ia belajar berbagai ilmu di kota Bashrah, maka ia pergi ke kota
Baqdad, ibukota khalifah Islamiyyah saat itu, dan meneruskan belajar disana. Ia
belajar ilmu Kalam menurut paham Mu’tazilah, maka beliau termasuk pendukung dan
orang mu’tazilah yang tangguh.[13]
Walaupun al-Asy’ari termasuk ‘alim dan terkemuka dalam bidang hadits,
konsentrasi beliau tidak tertarik memperbanyak riwayat hadits, maka beliau
tidak digolongkan kedalam Ulama Ahlu-al-Hadits. Akan tetapi perhatian beliau
lebih cenderung ke aspek Aqidah terutama meneliti pendapat-pendapat
berbagai aliran dan golongan yang berkembang ketika itu, beserta argumentasi
dari masing-masing aliran tersebut.
Dalam riwayat dikatakan bahwa Asy’ariah berusaha mendekati Ulama-ulama
aliran Fiqhi Sunni, sehingga ada yang mengatakan bahwa beliau bermazhab
Syafi’i, ada juga yang mengatakan ia bermazhab Hambali dan bahkan ada
keinginannya menjauhi aliran-aliran fiqhi. Namun dalam perkembangan selanjutnya
yang terjadi justru disatukan dan bahkan saling melengkapi.[14]
Adapun mengenai karya-karya Imam Asy’ari kurang lebih puluhan karya yang
dihasilkan, namun ada tiga karyanya yang sangat terkenal yaitu kitab “
Maqalah al-Islamiyyin” (pendapat-pendapat golongan Islam).[15] Kitab yang lain adalah
al-Ibanah ‘An Ushul al-Dhianah (keterangan tentang dasar-dasar agama),
berisi tentang kepercayaaan Ahlu Sunnah, dengan dimulai Imam Ahmad Bin Hambal.[16] Dan kitabnya yang
ketiga adalah al-Luma’ Fi al-Rad ‘Ala Ahlu al-Ziagh Wa al-Bida’, yang
berisi sorotan atau bantahan terhadap lawan-lawan pendapatnya tentang berbagai
masalah Ilmu Kalam.[17]
Dari buku-buku yang telah ditulis inilah dapat diketahui ajaran-ajaran
al-Asy’ari.
C. POKOK POKOK AJARAN AL ASY’ARI
Pada dasarnya kaum Asy’ariah merupakan aliran moderat yang berusaha
mengambil sikap penengah antara dua kutub Aqal dan Naql, antara
kaum Salaf dan Mu’tazilah. Atau Asy’ariah bercorak perpaduan antara pendekatan
tekstual dan kontekstual sehingga al-Gazali menyebutnya sebagai aliran Mutawassith
atau pertengahan.
Awal mula proses pemikiran ajaran al-Asy’ari, dilakukan dengan berdiam
dirinya al-Asy’ari di rumah dengan berusaha mencari dasar pemikiran untuk
mencoba membandingkan dalil-dalil antara kelompoknya dan Mu’tazilah. Hal itu ia
lakukan dalam rangka menjawab pemikiran kaum Mu’tazilah.
Perkembangan selanjutnya al-Asy`ari keluar menemui masyarakat dan
mengundang mereka untuk berkumpul di Mesjid pada hari Jum’at di Bashrah.
Al-Asy’ari berbicara, (saya) pernah mengatakan bahwa al-Qur’an adalah Makhluk,
bahwa Allah tidak terlihat oleh indra penglihatan kelak pada hari qiamat. Dan
perbuatan-perbuatan saya yang tidak baik, maka saya sendirilah yang
melakukannya, kini saya bertobat dengan pendapat itu dan menolak ajaran
tersebut (Mu’tazilah).[18]
Kemudian pokok-pokok ajaran al-Asy’ari, yaitu mengenai Wajibul Wujud,
bahwa setiap orang Islam wajib beriman kepada Tuhan yang mempunyai sifat-sifat
yang Qadim.[19]
Oleh karena kaum Asy’ariah adalah kaum Sifatiyah.[20] Seperti halnya kaum
salaf, mereka meneguhkan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya. Jadi Allah
mengetahui dengan ilmu, berkuasa dengan sifat kuasa, sifat-sifat Allah adalah
al-‘Ilmu (Maha mengetahui) al-Qudrah (Maha Kuasa), al-Hayah
(Maha Hidup) dan lain-lain.[21] Semua ini adalah
sifat-sifat Azali (eternal) dan abadi dan hal ini pula menunjukkan kemutlakan
kekuatan Tuhan untuk berbuat atau tidak berbuat.
Adapun mengenai keadilan Tuhan Asy`ariyah bertentangan dengan Mu’tazilah,
karena al-Asy’ari memakai pendekatan Kemahakuasaan Tuhan secara mutlak. Jadi
Tuhan bertindak semaunya terhadap ciptaannya atas dasar kemahakuasaannya. Jadi
tidak bisa dikatakan salah jika seandainya Tuhan memasukkan orang kafir kedalam
surga atau sebaliknya.
Sedangkan pendapatnya tentang al-Qur’an, bahwasanya Qur’an itu sepenuhnya
bukan makhluk termasuk suara dan hurufnya, hanya perwujudan dalam bentuk suara
dan huruf adalah makhluk, dan yang bersifat Qadim hanya esensi al-Qur’an
itu sendiri.[22]
Menyangkut tentang Akal dan Wahyu, menurut Asy’ariah, akal manusia tidak
dapat sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan. Manusia dapat mengetahui
kewajiban hanya melalui wahyu, wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada
manusia bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan manusia harus menerima
kebenaran itu.[23] Dengan demikian al-Asy’ari memberikan posisi wahyu lebih tinggi
tingkatannya dibanding akal.
Kemudian mengenai Iman bagi al-Asy’ari adalah Tasdiq dan Ikrar,
‘Amal bukanlah kategori Iman tapi perwujudan dari pada Tasdiq.
Jadi al-Asy’ari berpendirian bahwa Iman adalah keyakinan bathin (Inner
belief) baik iman secara lisan atau secara praktis (perbuatan) keduanya
merupakan cabang Iman. Dengan demikian siapa saja yang beriman pada hatinya
(mengakui ke-Esaan Allah dan Rasulnya serta dengan ikhlas mempercayai segala
apa yang mereka terima darinya). Iman orang seperti ini sah, jika dia mati ia
akan selamat dari neraka. Tidak ada sesuatu apapun yang membuat orang tidak
beriman (hilang Imannya) kecuali kalau menolak salah satu (keduanya) dari
kebenaran-kebenaran yang dua itu.[24] Dengan demikian
kata al-Asy’ari siapa saja yang melakukan dosa besar lalu mati sebelum
bertobat dari dosa itu, maka keputusannya (apakah ia masuk surga atau neraka)
ada ditangan Allah SWT.
Adapun pandangan Asy’ari tentang melihat Tuhan: ia berpendapat bahwa setiap
yang ada dapat dilihat, Allah juga ada maka dengan demikian dia dapat dilihat,
ini dapat diketahui dari wahyunya bahwa kaum Mukmin akan melihatnya dihari
akhir nanti, sebagaimana Allah katakan “Dihari itu wajah mereka (yang beriman)
akan berseri-seri melihat Tuhan mereka (Q.S. al-Qiyamah/75: 22).[25]
Akan tetapi penglihatan kita terhadap Tuhan tidak memerlukan ruang, tempat,
arah atau bentuk dan saling tatap muka (seperti kita), sebab itu mustahil.[26] Al-Asy’ari juga
dikenal karena doktrin Kasyab (perolehan) kaitannya dengan perbuatan
manusia. Menurutnya, setiap perbuatan manusia, sekalipun hanya mengangkat ujung
jari adalah ciptaan Tuhan, namun hal itu diperoleh manusia untuk
dipertanggungjawabkan.[27] Doktrin ini sarana
untuk menggambarkan kebebasan kehendak manusia, sehingga manusia harus
mempertanggungjawabkannya. Juga sekaligus menyandarkan sepenuhnya terhadap daya
dan kekuatan Tuhan semata.
Selanjutnya pandangan tentang teologi Asy’ari dengan agama yang lain yaitu
bahwa selain Islam ia adalah kafir.
Inilah sebagian besar dari pokok-pokok ajaran al-Asy’ari yang mendapat
perhatian bagi para teolog dalam mengkaji aliran-aliran teologi dalam Islam.
D. AJARAN AL BAQILLANI, ALJUWAINI
DAN ALGHOZALI
Diantara beberapa tokoh penganut paham al-Asy’ari, seperti
al-Baqillani, al-Juwaini maupun al-Gazali, tentunya ajaran mereka dalam
bidang ilmu kalam diduga kuat terdapat persamaan-persamaan dengan ajaran
al-Asy’ari. Tetapi tidak menutup kemungkinan terdapat sudut pandang yang
berbedah dalam beberapa hal. Untuk itu perlu dilihat ajaran mereka
masing-masing.
1.
Al-Baqillani
a.
Riwayat Hidupnya
Al-Qadi Abu Bakr Muhammad Ibn al-Tayyib Ibn Muhammad Ibn al-Qasim Abu Bakr
al-Baqillani adalah nama lengkap dari al-Baqillani yang diduga lahir di
Bashrah. Namun, tidak terdapat keterangan yang jelas tentang tanggal dan tahun
berapa kelahirannya.[28] Al-Qadi merupakan
gelar penghargaan atas jabatan yang pernah disandangnya, namun ia lebih dikenal
dengan nama al-Baqallani yang menunjukkan nasabnya. Ia wafat pada tahun 1413 M
dan dikuburkan disamping makam Imam Ahmad Bin Hambal.[29]
Al-Baqallani dikenal sebagai seorang yang gemar pada ilmu pengetahuan,
khususnya dalam ilmu-ilmu agama. Belajar agama dari para ulama pengikut
al-Asy’ari, seperti : Ibn Mujahid dan Abu Hasan al-Bahiliy. Dan belajar hadis
dari Abu Bakr Ibn Malik dan al-Naisabury.[30] Karena itu, ia menjadi
penganut ajaran al-Asy’ari. Kemudian ia mempelajari pemikiran Hasan al-Bashri
dan Abu Hasan al-Asy’ari melalui tulisan mereka ketika al-Baqillani bermukim di
Baqdad.[31]
Kegemarannya mencari dan menambah ilmunya, mengantarkan al-Baqillani
sebagai seorang pemikir dan penulis yang produktif dimasanya. Ada sekitar 52
judul buku yang dikarang, namun yang sempat di tahqiq hanya 6 buah judul
dua diantaranya berisi pembahasan tentang teologi, yaitu : (1) al-Tamhid
dan (2) al-Insaf 2 vol yang berisi riwayat aqidah sunnyiah, disertai
penjelasan bahwa al-Quran bukan ciptaan, tentang taqdir, melihat Tuhan dan
syafa’at.[32]
Keahliannya bermujadabah dan ketajaman analisisnya, maka al-Baqillani lebih
mempertegas konsep ketauhidan al-Asy’ariyyah lebih rasional ketimbang
al-Asy’ari. Tetapi, ia tetap tidaklah menyimpang dari ajaran dasar yang
menempatkan nash lebih dahulu kemudian argumentasi akal.[33]
b.
Pemikiran Kalam al-Baqillani
Ajaran-ajaran al-Asy’ari diperoleh al-Baqillani dari gurunya, Ibn Mujahid
dan Abu al-Hasan al-Bahiliy murid Abu Hasan al-Asyari. Namun demikian, ia tidak
begitu saja menerima ajaran-ajaran al-Asy’ari. Dalam beberapa hal, menurut
Harun Nasution, dia tidak sepaham dengan al-Asy’ari.[34]
1)
Fungsi Akal dan Wahyu
Dalam aliran Mu’tazilah memandang akal dapat mengetahui adanya
kewajiban-kewajiban dan mengetahui baik dan buruk, sedangkan wahyu sekedar
melengkapi temuan-temuan dari akal tersebut. Dengan kata lain, fungsi akal bagi
aliran Mu’tazilah bersifat informatif, sedang wahyu bersifat konfirmatif.[35] Berbeda dengan al-Asy’ari, fungsi akal dalam mengetahui kewajiban-kewajiban
serta baik dan buruk bersifat konfirmatif dari informasi yang dibawa wahyu.[36] Akal manusia tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban sebelum turunnya
wahyu. Semua kewajiban adalah berdasarkan wahyu. Akal tidak dapat menetapkan
kebaikan dan keburukan. Demikian pula pemberian pahala bagi orang yang taat dan
pemberian siksa bagi yang berbuat maksiat adalah berdasarkan wahyu, bukan pada
akal.[37]
Al- Baqillani berpendapat bahwa akal tetap berperan terhadap
masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan pahala dan siksa. Misalnya,
walaupun akal tidak dapat mengetahui secara spontan mana makanan yang sehat dan
mana yang mengandung racun, tetapi akal dapat mengetahuinya melalui eksperimen.[38]
Berdasarkan asumsi di atas, dapat dipahami bahwa fungsi akal dan wahyu dalam
perspektif al-Baqillani agak berbeda dengan al-Asy’ari, tetapi juga tidak sama
dengan Mu’tazilah. Akal hanya mampu mengetahui baik dan buruk yang berada
di luar bingkai syar’I, sedang baik dan buruk yang berkenaan dengan pahala dan
dosa, wahyulah yang menentukan.
2)
Tentang Sifat-sifat Tuhan
Menurut pandangan aliran al-Asy’ari bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat
yang lain dari zat-Nya.. "إنها هي هو ولا هي غيره"Menurutnya Allah
mempunyai ilmu karena alam yang diciptakan demikian teratur tidak tercipta
kecuali diciptakan oleh Tuhan yang mempunyai ilmu. Demikian pula menurutnya
Allah mempunyai qudrat, hayat dan sebagainya. Seperti yang dijelaskan didalam QS. Surat
Annisa’ ayat 166.
Ayat-ayat tersebut dijadikan pijakan oleh al-Asy’ari dalam menunjukkan
bahwa Tuhan itu mengetahui dengan ilmunya. Oleh karena itu, mustahil ilmu itu
merupakan zat-Nya. Berbeda dengan al-Baqillani, dia berpendapat bahwa
sifat-sifat Tuhan itu adalah hal atau keadaan . Jadi Tuhan mengetahui bukan
dengan ilmu tetapi keadaan Tuhan yang mengetahui, begitu pula dengan Tuhan
mendengar bukan dengan alat pendengaran tetapi keadaan Tuhan yang mendengar.
3)
Perbuatan Manusia
Dalam pandangan al-Asy’ari, manusia tidak punya pilihan di dalam
perbuatannya sebab semua yang dilakukan manusia berdasarkan ketentuan Tuhan.
Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan manusia, sehingga manusia sama
sekali tidak mempunyai kebebasan dalam melakukan perbuatannya.[39]
Berbeda dengan al-Asy’ari, menurut al-Baqillani ada perbuatan yang terjadi
berdasarkan pilihan manusia, dan ada pula perbuatan yang manusia terpaksa
melakukannya. Menurutnya,manusia mampu berdiri, duduk, dan berbicara dengan
kehendaknya sendiri. Tetapi manusia tidak mampu bergerak ketika lumpuh dan
sakit.[40]
Dengan demikian, manusia mempunyai kebebasan kehendak dalam menentukan
perbuatannya sendiri. Kalau bagi al-Asy’ari daya manusia tidak mempunyai efek,
namun bagi al-Baqillani daya itu mempunyai efek.[41]
Manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan
perbuatannya, yang diwujudkan Tuhan adalah gerak yang terdapat dalam diri
manusia adapun bentuk gerak itu dihasilkan oleh manusia sendiri, seperti duduk,
berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya. Gerak sebagai genus (jenis) adalah
ciptaan Tuhan, tetapi duduk, berdiri, berbaring dan sebagainya merupakan
spektes (naw) dari gerak merupakan perbuatan manusia.[42]
2.
Al-Juwaini
a.
Riwayat Hidupnya
Nama lengkapnya adalah Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin
Muhammad bin Abdullah bin Hayawi al-Juwaini. Nama al-Juwaini dinisbahkan pada
kota tempat kelahirannya, Juwaini termasuk wilayah Naisabur, Khurasan. Juga
dikenal dengan gelaran Abu al-Ma’ali, yang menunjukkan keutamaan yang
dimilikinya sebagai ilmuwan, agamawan, dan pemuka masyarakat. Di samping itu ia
lebih masyhur dengan Imam al-Haramain, gelar yang diberikan setelah mengajar
selama empat tahun di dua kota suci. Mekkah dan Madinah (447-451).[43]
Al-Juwaini mula-mula belajar agama dari ayahnya, Syekh Abu Bakr Muhammad.[44] Ayahnya adalah seorang ahli dalam bidang fiqh dan usul al-fiqh, nahwu dan
sastra. Kemudian dia berguru kepada Abu al-Qasim al-Iskafiy al-Isfiray di
Madrasah al-Baihaqi. Dan ketika pertentangan antara aliran Asy’ariyah dengan
aliran Mu’tazilah memuncak, dia pergi ke Baghdad dan disana dia belajar pada
beberapa orang ulama besar. Dia berdiskusi serta berguru kepada mereka sehingga
nama al-Juwaini populer dikalangan mereka.[45]
Al-Juwaini mengikuti jejak al-Baqillani dalam menjunjung tinggi argumentasi
akal, bahkan pergi lebih jauh dari al-Baqillani.[46] Dan menurut Ahmad Amin yang dikutip Harun Nasution kembali dengan melalui
jalan yang berkelok-kelok kepada ajaran Mu’tazilah.[47] Buku-buku karangan al-Juwaini beragam: fiqh, usul al-fiqh, dan aqidah.
Diantara bukunya yang banyak membahas aqidah Asy’ariyah adalah antara lain : al-Syamil
fi Ushul al-Din, al-Irsyad Ila Qawati al-Adillah, dan al-Nizamiyah.[48]
b. Pemikiran Kalam
al-Juwaini
Seperti disebutkan diatas bahwa al-Juwaini sangat menjunjung tinggi
argumentasi akal, sehingga dalam beberapa hal tampaknya melangkahi al Asy’ari,
terutama masalah perbuatan manusia. Namun demikian al-Juwaini tetap tidak
menyimpang jauh dari doktrin paham aliran al-Asy’ari dalam hal fungsi akal dan
wahyu.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pemikiran kalam al-Juwaini, dapat
dilihat pada pemikirannya mengenai :
1). Fungsi Akal dan
Wahyu
Tidak jauh berbeda dengan umumnya kaum Asy’ari. al-Juwaini memandang akal
tidak mampu menjangkau adanya kewajiban-kewajiban, baik dan buruk dalam syariat
atau hukum Tuhan sebelum turunnya wahyu. Semua hal tersebut hanya bisa didapat
melalui perantaraan wahyu Tuhan. Namun demikian, al-Juwaini tidak selamanya
sependapat dengan al-Asy’ari, dia berpendapat bahwa baik dan buruk yang tidak
berhubungan dengan pahala dan dosa dapat dijangkau oleh akal. [49]
Dengan demikian, fungsi akal bagi al-Juwaini tidak selamanya bersifat
konfirmatif atas informasi yang didatangkan wahyu, tetapi juga bersifat
informatif. Sebaliknya wahyu juga tidak selamanya berfungsi informatif, tetapi
terkadang bersifat konfirmatif.
2). Perbuatan Manusia
Bagi al-Juwaini, manusia bebas dalam menetukan kehendak dan perbuatannya.[50] Daya yang ada
pada manusia menurutnya mempunyai efek. Tetapi efeknya serupa dengan efek yang
terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan bergantung pada daya yang
ada pada manusia. Wujud daya itu bergantung pula pada sebab lain, dan wujud
sebab itu bergantung pula pada sebab lain lagi dan demikian seterusnya sehingga
sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.[51]
Jadi menurut al-Juwaini, manusia punya andil dalam mewujudkan perbuatannya,
sebab daya yang ada pada manusia mempunyai efek saat terjadi perbuatan.
Sehingga perbuatan yang dilakukan oleh manusia bukanlah perbuatan Tuhan, tetapi
perbuatan manusia sendiri.
3). Sifat-sifat Tuhan
Al-Juwaini membagi sifat-sifat Tuhan menjadi dua kelompok, yakni :
a.
Sifat
nafsiyah. Yakni sifat isbat bagi zat yang selalu ada selama zat
itu ada, tanpa disebabkan oleh sesuatu yang ada pada zat yaitu sifat: qidam,
baqa, qiyamuhu binafsihi, mukhalafah li al-hawadis dan wahdaniyah.
b.
Sifat
ma’nawiyah, ialah sifat yang timbul (ada) karena sesuatu illat yang
ada pada zat, seperti: qadir, murid, dan sebagainya.[52]
3. Al-Gazali
a.
Riwayat Hidupnya
Al-Gazali lahir di Gazalah, sebuah kota kecil yang terletak didekat Tus
(wilayah Kurasan) pada tahun 450 H / 1058 M dan wafat pada tahun 505 H / 19
Desember 1111 M.[54] Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad al-Tawus Abu Hamid Imam al-Gazali,
digelari hujjat al-Islam. Al-Gazali dinisbahkan kepada ayahnya sebagai gazal
–pemintal kain. Hujjat al-Islam adalah penghargaan yang pantas
disandangnya. Sebab, selain sebagai representasi kaum sunni, juga karena
kecermatan dan kecemerlangan tiap argumentasi yang mendasari pemikirannya.[55]
Masa kecilnya dilewati dengan suasana keagamaan yang sederhana di Tawus,
kota kedua sesudah Naisaburi di Khurasan. Mula-mula ia belajar fiqh dari Ahmad
bin Muhammad al-Razikaniy. Di usia menjelang 20 tahun ia mempelajari selain
agama, bahasa Persia dan Arab pada al-Isma’ili di Jurjan. Beberapa tahun
sesudahnya ia berguru kepada al-Juwaini yang menjadi pembina Madrasah Nizamiyah
di Naisaburi, terutama ilmu fiqh Syafi’I dan kalam Asy’ari.[56]
Al-Gazali tidak pernah merasa puas dalam mencari dan menambah pengetahuannya,
sehingga kelak ia menjadi seorang mutakallim, filosof dan sufi besar. Dia tidak
hanya sekedar mendalami bidang-bidang tersebut, tetapi juga merefleksikan
apresiasinya itu dalam bentuk tulisan. Buku-buku karangan al-Gazali jumlahnya
tidak diketahui secara pasti, yang meliputi berbagai bidang cabang, seperti:
fiqh, usul fiqh, ilmu kalam, filsafat dan tasawuf. Uraiannya mengenai ilmu
kalam terdapat dalam buku Maqasid al-Falasifah, Qawa’id al-Aqa’id,
al-Iqtisad fi al-Aqa’id, Ihya Ulum al-Din, al-Maqasid al-Husna fi Syarh
Asma al-Husna, dan lain-lain.[57]
b. Pemikiran Kalam Al-Gazali
Dalam bidang kalam, barangkali tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa
al-Gazali adalah “reinkarnasi” dari pendiri mazhab al-Asy’ari. Sebab pemikiran
kalamnya memiliki kemiripan dengan pemikiran al-Asy’ari.[58]
Untuk mengetahui lebih jauh tentang pemikran kalam al-Gazali, dapat dilihat
pada pandangannya mengenai :
1) Fungsi Akal dan
Wahyu
Akal dalam pandangan al-Gazali bisa menjangkau wujud Tuhan melalui pemikiran
tentang alam yang bersifat dijadikan. Hal ini diperkuat oleh keterangan
al-Gazali selanjutnya, bahwa objek pengetahuan terbagi tiga: yang dapat
diketahui dengan akal saja, yang dapat diketahui dengan wahyu saja, dan yang
dapat diketahui dengan akal dan wahyu. Wujud Tuhan dimasukkan dalam kategori
pertama, yaitu kategori yang dapat diketahui dengan akal tanpa wahyu.[59]
Akan tetapi akal
tidak bisa menjangkau adanya kewajiban-kewajiban bagi manusia, kewajiban hanya
bisa ditentukan oleh wahyu. Juga akal tidak bisa mengetahui baik dan buruk.
Baik dan buruk hanya bisa ditentukan oleh wahyu. Demikian pula dengan pahala
dan dosa, akal sama sekali tidak punya kemampuan untuk mencapainya. Pahala dan
dosa hanya bisa diperoleh melalui wahyu.[60]
2)
Perbuatan
Manusia
Mengenai perbuatan manusia, al-Gazali berpendapat bahwa Tuhanlah yang
menciptakan daya dan perbuatan. Daya yang terdapat dalam diri manusia tidak
efektif dalam mewujudkan perbuatan, tetapi lebih bersifat impotensi.[61] Dengan demikian,
manusia tidak punya kebebasan dalam mewujudkan perbuatannya, ia sangat
bergantung pada daya yang diciptakan Tuhan.
Dalam menjelaskan mengenai perbuatan manusia ini, al-Gazali menyatakan
bahwa perbuatan adalah bagian dari gerak yang bila dihubungkan dengan manusia,
maka ada gerak yang tidak disadari (al-tabi’iyah) dan gerak yang
disadari (al-iradiyah). Perbuatan-perbuatan yang disadari terjadinya,
melalui proses tertentu dalam jiwa manusia yang disebut dengan ikhtiar. Dan
perbuatan semacam ini melalui tiga tahap dalam diri manusia, yaitu pengetahuan (al-ilm),
kemauan (al-iradah), dan kemampuan (al-qudrah).
Jadi perbuatan yang dilakukan manusia itu, berdasarkan pandangan al-Gazali
diatas pada hakekatnya adalah perbuatan Tuhan dan manusia hanya melakukan
secara majaz, bukan sesungguhnya.
` 3) Sifat-sifat Tuhan
Dalam membicarakan sifat-sifat Tuhan, al-Gazali berbeda dengan gurunya
al-Juwaini, dan lebih sejalan dengan pandangan al-Asy’ari. Ia menyatakan bahwa
Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan
sifat-sifat itu mempunyai wujud diluar zat-Nya.
E.
ASY’ARIYAH SEBAGAI ALIRAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Pendapat-pendapat mengenai cikal bakal penyebutan Ahlus Sunnah beraneka
ragam. Kata ini telah digunakan sejak sebelum al Asy’ari yaitu terhadap mereka
yang apabila menghadap sesuatu peristiwa maka mereka mencari hukumnya dalam al
Qur’an dan hadits, dan apabila tidak didapati maka mereka bersikap diam,
karena tidak berani memberikan penafsiran. Mereka lebih terkenal dengan sebutan
Ahlul Hadits yang sudah dimulai sejak zaman sahabat yang dilanjutkan sampai
masa tabi’in.[62]
Nurcholish Madjid ketika mengeruaikan penyebutan al-Sunnah (tradisi)
dalam sejarah intelektualisme Islam mengaitkannya dengan Abdullah ibn Umar
putra khalifah Umar ibn Umar adalah seorang sarjana yang serius, yang
mempelajari dan mendalami segi-segi ajaran Islam. Sebagai seorang yang hidup di
kota Nabi (Madinah) dalam mengkaji ajaran agama ia memiliki kecenderungan alami
untuk memperhatikan dan mempertimbangkan secara serius tingkah laku dan
pendapat penduduk Madinah yang dilihatnya sebagai kelangsungan hidup tradisi
masa Rasulullah. Karena itu ia terdorong untuk memperhatikan berbagai cerita
dan anekdot tentang Nabi yang banyak dituturkan oleh penduduk Madinah. Ia
bersama Abdullah ibn Abbas menjadi perintis yang mula-mula sekali untuk bidang
kajian baru tersebut.[63]
Adapun perkembangan selanjutnya tentang pemakaian kata ini digunakan oleh
al-Asy’ari seperti dalam bukunya Maqalat al-Islamiyyah untuk menyebut
mereka yang berpegang pada pendapat bahwa Allah itu bukan jisim dan tidak
menyerupai apapun. Disamping itu al-Asy’ari juga menggunakan istilah Ahlu
Sunnah wal Istiqamah, ahl al jama’ah, ahl al Haqq wa al
Sunnah. Penggunaan kata-kata ini memiliki makna yaitu pertama, kata
Sunnah berarti bahwa al Asy’ari menganut secara konsisten bukan saja Sunnah
Nabi tetapi juga para generasi Salaf yang dipandang sebagai representasi Islam
yang murni dan jauh dari segala bid’ah. Kedua, kata Hadits menunjukkan
komitmen terhadap Sunnah dalam bentuk ucapan, perbuatan, dan taqrir Nabi yang
menjadi formulasi sumber hukum kedua sesudah wahyu (al-Qur’an). Ketiga,
kata Haq mengisyaratkan bahwa faham keagamaan mereka dipandang sebagai
satu-satunya kebenaran. Keempat, kata Istiqamah yang berarti sikap
konsistensi mereka terhadap kebenaran dan keteguhan mereka untuk memegang
ajaran yang lurus. Dan kelima, kata Jama’ah (sebaimana telah disebutkan
oleh Cak Nur pada uraian terdahulu), bermakna kesadaran historis terhadap
perjalanan sejarah ummat Islam atas landasan kekuatan mayoritas.[64]
F. PERKEMBANGAN DAN PENGARUH
ASY’ARIYAH DIDUNIA ISLAM
1. Perkembangan
Aliran Asy’ariah (Ahlu Sunnah wal jama’ah)
Sebagaimana telah diuraikan sebelumya bahwa dalam perkembanganya aliran al
Asy’ari kemudian diidentikkan dengan paham Ahlu Sunnah wal jama’ah maka untuk
membahas perkembangannya dan pengaruhnya di dunia Islam pada dasarnya tidak
terlepas dari peranan tokoh-tokohnya sendiri.
Berikut ini akan dipaparkan tokoh-tokoh pasca al-Ghazali:
a.
Setelah
wafatnya Tughril (1063) ia digantikan Alp Arselan (1063-1092) yang mengangkat
Nizam al Mulk sebagai pengganti al Kunduri. Nizam al Mulk adalah penganut
aliran al-Asy’ari. Ia kemudian mendirikan sekolah-sekolah yang diberi nama al
Nizamiah, diantaranya di Baghdad tempat al Ghazali pernah mengajar. Di
sekolah-sekolah ini dan sekolah lain diajarkan teologi Asy’ariah. Dengan
demikian paham-paham Asy’ariah tersebut di daerah kekuasaan saljuk.
b.
Di
abad ke 6 H tokoh yang mengambil bagian untuk membentengi dan menyebarkan
Asy’ariah adalah ibn Tumart (524 H/1130 M. Ia adalah murid al-Gazali dan putra
mahkota Bani Muwahhidin yang amat berjasa dalam menyebarkan aliran ini di
Andalusia dan Afrika Utara.
c.
Di
Mesir aliran Asy’ariah dikembangkan oleh Salah al-Din al Ayyubi, sebagai
pengganti aliran Syi’ah yang dibawa oleh kerajaan Fatimah yang berkuasa di
Mesir dari tahun 969-1171 M. Ia menggantikan corak Syi’ah dengan corak ahlu
Sunnah terutama dalam bidang ilmiah, kebudayaan dan agama. Di dunia Islam
bagian Timur sampai ke India ajaran ini dibawah oleh Mahmud al-Ghaznawi
(999-1030 M). Kerajaan yang didirikan oleh Dinasti Ghaznawi ini berkuasa di
Afghanistan dan Punjab.
Disamping tokoh-tokoh di kalangan negarawan (penguasa) yang menyebarkan
ajaran al-Asy’ariyyah terdapat pula para intelektual di kalangan al- Asy’ariah
yaitu:
a.
Al
Syahrastani, beliau memegang kitab yang berjudul al Milal wa al Nihal (Agama
dan kepercayaan). Buku ini menjadi rujukan hingga saat ini. Ia menolak al-Tasybih
(anthropomorphisme), al-Ta’til (mengosongkan Allah dari
sifat-sifat-Nya), sebaliknya ia menegaskan bahwa sifat-sifat Allah itu ada pada
zat.
b.
Fakhr
al Din al Razi (606H/1209 M), ia adalah seorang Asy’ariyyah yang konsisten
terhadap keAsy’ariyyahannya, walaupun cenderung kepada sebagian pandangan
Mu’tazilah. Ia menafikan al-Jasmiyyah dan meneguhkan bahwa Allah
memiliki sifat Maha Kuasa (al- Qudrah), Maha Mengetahui (al Ilmu), Maha
berkehendak (al Iradah), al Hayah, al Sama, al Bashr.
c.
Alauddin
al Idji (756 H/1355 M), ia adalah mantan hakim dan guru Sjiraz yang
menghasilkan karya-karya mengenai ketauhidan dan filsafat. Buku-buku buku
diantaranya adalah al-Aqa’adul ‘Adhudiyah dan al-Muwaqif. Di
akhir pembahasan dan kitabnya memperlihatkan sikap keAsy’ariyahannya dengan
menafsirkan kata-kata al Sunnah wal Jama’ah dengan aliran Asy’ariah dan
golongan Muhaddisin.
d.
Muhammad
Abduh (1322 H/1905 M), ia adalah seorang penyeru feformasi dan duta kebangkitan
yang dihambat oleh kejumudan pemikiran, cakrawala sempit. Ia ingin
mengembalikan Islam kepada kejayaan yang ada pada generasi Islam pertama,
menurutnya Islam adalah agama tauhid. Memang al Qur’an menyebutkan
sifat-sifat (Allah) yang mengenai manusia. Di sini akal memiliki ruan gerak
yang begitu lebar untuk memahaminya . Yang harus kita imani, ialah kita harus
tahu bahwa Ia adalah wujud yang tidak menyamai segala yang ada; Azali lagi
abadi, Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Berkehendak, dan Maha Kuasa, sendiri
dalam keharusan adaNYa dan kesempurnaan sifat-sifatNya. Ia Maha
Berfirman, Maha mendengar dan Maha Meliht, dan sifat-sifat lain sebagai
konsekuensi semua itu yang dibawa oleh Syara’ dengan menerapkan sifat-sifat itu
pada nama-Nya.
Demikianlah
beberapa tokoh Asy’ariah (Ahlu Sunnah wal Jama’ah) yang mengembangkan
aliran ini setelah al Ghazali hingga memiliki pengaruh sampai saat
ini.
2. Pengaruh Asy’ariah (Ahlus Sunnah wal Jama’ah)
Jika diperhatikan perjalanan sejarah tokoh-tokoh Asy’ariah dalam
perkembanganya dengan klaim Ahlu Sunnah wal Jama’ah, maka dapat dikatakan
bahwasanya pengaruh ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak terlepas dari beberapa
hal:
a.
Kepintaran
tokoh sentralnya yaitu Imam al-Asy’ari dan keahliannya dalam perdebatan dengan
basis keilmuan yang dalam. Di samping itu ia adalah seseorang yang shaleh dan
taqwa sehingga ia mampu menarik simpati orang banyak dan memperoleh kepercayaan
dari mereka.[76]
b.
Asy’ariah
memiliki tokoh-tokoh dari kalangan intelektual dan birokrasi (penguasa) yang
sangat membantu penyebaran paham ini.
c.
Para
tokoh-tokoh tersebut tidak hanya ahli dalam bidang memberikan
argumentasi-argumensi yang meyakinkan dalam mengembangkan ajaran Ahlu Sunnah
wal Jama’ah melalui perdebatan namun juga melahirkan karya-karya ilmiah yang
menjadi referensi hingga saat ini. Karya tersebut antara lain: Maqalat
al-Islamiyyah, al-Ibanah an Ushuluddianah, al Luma’ Ketiganya
oleh Asy’ari, al-Tamhid oleh al Baqillani, al-Irsyad oleh al
Juwaini, al-Qawaidul Aqa’id dan Ihya Ulumuddin oleh al Ghazali, Aqidatu
Ahlut Tauhid oleh al Sanusi, Risalatut Tauhid oleh Muhammad Abduh
dan karya-karya lainnya.
Pengaruh Ahlu Sunnah ini sampai ke Indonesia. Di Indonesia misalnya NU
secara formal konstitusional menganut ideologi, demikian pula Muhammadiyah
secara tidak langsung mengakui ideologi ini seperti yang terlihat adalah salah
satu keputusan majlis tarjih yang menyatakan bahwa keputusan-keputusan tentang
iman merupakan aqidah dari Ahlu Haq wal Sunnah. Sedangkan pergerakan lainnya
juga menyatakan berhak menyandang sebutan Ahlu Sunnah ialah Persatuan Islam
(persis). Kenyataan ini menunjukkan betapa aliran Ahlu Sunnah itu diyakini
sebagai satu-satunya aliran yang benar dan selamat.
BAB III
PENUTUP/KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut diatas dapat disimpulkan :
1.
Dalam
tinjauan Sejarah eksistensi aliran Asy’ariah muncul setelah terjadinya
disintegrasi internal dalam kubu mu`tazilah, dengan adanya perubahan
paradigma ketuhanan yang tidak sesuai lagi menurut pemahaman logika atau konsep
ketauhidan al-Asy’ari.
2.
Abu
Hasan al Asy’ari adalah putra Abu Musa al-Asy’ari, ia dibesarkan dan didik
dalam lingkungan Mu’tazilah, selama 40 tahun menjadi pengikut aliran Mu’tazilah
dengan dedikasi yang tinggi, tetapi kemudian aliran ini ditinggalkanya dan
kembali kepada salaf atau ahlu al-Hadits dengan perubahan paradigma teologi
yang signifikan pada diri al-Asy`ari
3.
Secara
komprehensif dasar pokok pikiran al-Asy’ari adalah perpaduan antara pemahaman
tekstual dan kontekstual antara Mu’tazilah dan salafiyah, dengan
mengambil jalan tengah lalu mempersatukan umat islam, sehingga dikenal sebagai
aliran Mutawassith (pertengahan).
4.
Adapun
tokoh-tokoh penting Asy`ariah seperti al-Baqillani, al Juwaini, al Gazali
memiliki persamaan persespsi dalam bidang ilmu kalam,namun juga terdapat
perbedaan-perbedaan sudut pandang dalam bidang tertentu.
5.
Kemudian
Pengaruh aliran Asy`ariah didunia islam berkembang dengan sebutan Ahlu
sunnah wal jamaah dengan peranan beberapa tokoh-tokoh mutakhir
DAFTAR PUSTAKA
A. Mughni, Syafiq. “Ahlu Sunnah wal jama’ah dan posisi Teologi Muhammadiyah,”.
Suara Muhammadiyah, 1995.
Abu, Muhammad Zahrah. Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah diterjemhkan
oleh Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan Judul Aliran Politik
dan Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos Publishing House, 1996.
Departemen Agama RI. Mushaf al-Qur’an Terjemah. Jakarta:
Pena Pundi Aksara, 2002.
Glasse, Cyrill. The Concise Encyclopedia of Islam
diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi dengan Judul Ensiklopedi Islam. Jakarta:
PT. Radja Grafindo Persada, 1999.
Hanafi, A. Pengantar Theologi Islam. Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1980. .
Hasyim, Umar. Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986.
Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Baqillani. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1997.
Kazi A.K dan J.G. Flynn. Muslim Sects And Divisions
diterjemahkan oleh Karsidi Diningrat dengan Judul Sekte-Sekte Islam
terjemahan dari The Sections On Muslim Sects In Kitab al- Milal Wan Nihal
Karya Muhammad bin Abdul Karim Syahrastani, Bandung: Pustaka, 1999.
Madjid, Nurcholish. Khazanah Intelektual Islam.
Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Madkour, Ibrahim. Fi al-Falsafah al-Islamiyyah, Manhaj
Wa Tatbiqub al-Juz al-Sani diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan Judul
Aliran dan Teory Filsafat Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Mudhofir, Ali. Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat
dan Teologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.
Nasution, Harun. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran.
Bandung: Mizan, 1996.
_____________. Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1986.`
Yasin, Muhammad Nasution. Manusia menurut al-Gazali. Jakarta:
Rajawali, 1988.
[2]. Muhammad Abu Zahrah, Tarikh
al-Mazahib al-Islamiyyah diterjemahkan oleh Abdurrahman Dahlan dan Ahmad
Qarib dengan Judul Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos
Publishing House, 1996), h. 189.
[5]. Ibrahim Madkour, Fi
al-Falsafah al-Islamiyyah, Manhaj Wa Tatbiqub al-Juz al-Sani diterjemahkan
oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan Judul Aliran dan Teory Filsafat Islam,
(Jakart: Bumi Aksara, 1995), h. 65.
[6]. Ali Mudhofir, Kamus
Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1996), h. 17.
[7]. Cyrill
Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam diterjemahkan oleh Ghufron A.
Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada,
1999), h. 41
[8]. Imam Abi al-Hasan Ali
Bin Ismail al-Asy’ari, al-Ibaanatuh An Ushulu ad-Diyaanatuh (al-Mamlakah
al-A’rabiyah as-Su’diyah al-Jaamiyah al-Islamiyyah Bil-Madinatih al-Munawwarah
: Markas Syu’unu ad-Da’watih, 1409), h. 12.
[11]. Umar Hasyim, Apakah
Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1986), h. 66.
[12]. Harun
Nasution, loc. cit
[18]Imam Muhammad Abu
Zahrah, op.cit., h.190.
[20].Kaum yang mengatakan
bahwa Allah punya sifat-sifat. Lihat Ibrahim Madkour, op. cit., h.65.
[23].Ali Mudhofir, loc.cit.
[24]. A.K. Kazi dan J.G.
Flynn, Muslim Sects And Divisions diterjemahkan oleh Karsidi Diningrat
dengan judul Sekte-Sekte Islam terjemahan dari The Sections On Muslim Sects In
Kitab al- Milal Wan Nihal karya Muhammad bin Abdul Karim
Syahrastani, (Bandung: Pustaka, 1999), h. 125.
[25].Lihat Departemen Agama RI,
Mushaf al-Qur’an Terjemah (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2002), h. 579.
[26].Lihat al-Syahrastani, al-Milal
Wa al-Nihal, Jilid I (Cairo: Mustafa al-Baby al-Halaby, 1967), h. 124.
[28].Ilhamuddin, Pemikiran Kalam
al-Baqillani (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h.13.
[31] Ibid., h. 14.
[32].Ibrahim Zakiy Khursyid, Dar
iradat al-Ma’arit al-Islamiyah, (Kairo, Dar al-Ma’arif, t,th.) h. 109.
[33].Jalal Muhammad Musa, Nasy’at
al-Asy’ariyyah wa Tatawwuruh (Beirut: Dar al-Kutub al-Banan, 1975), h. 318.
[34]Harun Nasution, op.cit., h.
71
[36] Abd al-Karim al-Syahrastaniy, al-Milal wa al-Nihal (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1992), h. 88.
[37].A. Hanafi,
Pengantar Theologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1980), h. 115.
[39]Abu Hasan ali ibn
ismail al-Asy’ari, Al-Luma fi Radd Ahl Ziyag wa al-Bida’ (Mesir:
Matba’ah Munir, 1955), h. 69.
[40]. Al-Baqillani, Kitab Tamhid al-Awa’il wa Talkhis
al-Dala’il, (Beirut: Muassasat al-Kutub al-Saqafiyyah 1369 H). h. 323.
[42].Harun
Nasution, op. cit., h. 72..
[44].Karena kecerdasan dan
kemampuannya, ia menggantikan ayahnya mengajar di Madrasah Naisabur setelah
ayahnya meninggal.
[46]Harun Nasution, loc.
cit.
[48]Khursyid, op.
cit., h. 86
[49]Imam al-Haramain
al-Juwaini, Kitab al-Irsyad al-Qawati’ al-Adillah fi Usul al-I’tiqad
(Mesir: Maktabah al-Sa’adah, 1950), h. 258-259..
[50].Abd al-Rahman al-
Badawiy, Mazahib al-Islamiyah (Beirut: Dar al-Islamiy al-Malayin, 1971),
h.724-725.
[54] Departemen
Agama RI, Ensiklopedia Islam, Jilid I, op.cit., h. 305.
[55] Nurcholish Madjid, Khazanah
intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 34.
[56]Sulaiman
Dun-ya, al-Haqiqah fi Nazr al- Gazali (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971), h.
19.
[58]Harun
Nasution,. op. cit., h. 73.
[63]Nurcholish
Madjid, op.cit., h. 16
[64]Syafiq A. Mughni, “Ahlu
Sunnah wal jama’ah dan posisi Teologi Muhammadiyah,” Suara Muhammadiyah,
1995, h. 51.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar